JAMBI – Suhu panas berlebih dirasakan oleh warga Kota Jambi. Panas yang terik yang menusuk kulit beberapa hari terakhir. Bahkan sengatan matahari pagi pukul 09.00 terasa menyengat layaknya tengah hari.
Hari berikutnya diselingi dengan hujan lebat. Perubahan cuaca esktrim sangat terasa.
“Beberapa hari ini terasa panas sekali, pagi pun sudah panas. Panasnya itu seperti menusuk kulit, eh hari berikutnya langsung hujan dengan sangat derasnya. Cuaca bisa berubah-ubah dengan sangat cepat,” kata Erlina salah seorang warga di Kelurahan Pematang Sulur, Kota Jambi.
Rasa panas ini yang dirasakan warga ini menurut penjelasan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) disebabkan oleh paparan sinar UV mencapai kategori ekstrem.
Puncak paparan sinar UV akan meningkat di hampir semua wilayah Indonesia, tak terkecuali Kota Jambi. Pada pukul 10.00 – 11.00 WIB Provinsi Jambi diprediksi diterpa paparan sinar UV kategori merah atau ekstrem.
Atas kondisi ini, masyarakat disarankan untuk menggunakan pelindung ketika beraktivitas di luar ruangan untuk mengurangi dampak dari suhu panas pada tubuh.
Namun, selain tubuh sendiri ada yang tidak kalah penting untuk dilindungi. Ialah lingkungan. Di Provinsi Jambi, saat musim kemarau di mana sengatan matahari sangat panas erat kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan.
Awal tahun 2023, BMKG mengeluarkan peringatan tahun 2023 akan memasuki siklus 4 tahunan el nino yang memungkinkan akan terjadi musim kemarau lebih panjang.
Di musim kemarau panjang, Jambi termasuk provinsi langganan kebakaran hutan dan lahan. Analisis Citra Sentinel 2 yang dilakukan unit GIS KKI Warsi, pada kemarau tahun 2019 Jambi mengalami kebakaran seluas 102.546 ha dan di 2015 seluas 85.658 ha. Melihat data ini, siklus empat tahunan masih menghantui Jambi, terkhusus pada lahan gambut.
Gambut Jambi seluas 694.349 ha, menjadi areal rawan kebakaran karena adanya kanalisasi gambut untuk menurunkan muka air gambut sehingga bisa ditanami dengan tanaman yang tidak adaptif terhadap kondisi gambut, seperti akasia dan sawit.
Dari data perizinan, hutan tanaman yang berada di lahan gambut tercatat 61.085 ha, dari luas ini, 16.013 ha diantaranya merupakan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter atau terkategori gambut sangat dalam. Sementara itu, kawasan perkebunan di lahan gambut seluas 320.132 hektar dan 43.808 ha berada di kawasan gambut sangat dalam atau lebih 4 meter.
“Pengalaman yang terdahulu menunjukkan di setiap musim kemarau panjang, kebakaran hampir bisa dipastikan terjadi. Merujuk pada tahun 2015 dan 2019, gambut di Jambi, dilahap api,” kata Direktur KKI Warsi Adi Junedi.
Hal ini terjadi karena kanalisasi lahan gambut untuk menurunkan muka air gambut atau pengeringan. Penurunan muka air gambut membuat gambut kehilangan fungsinya sebagai penyerap air. Pada musim kemarau air gambut akan hilang, sehingga kandungan organik yang ada di lahan itu menjadi sangat mudah terbakar.
Gambut bukan sumber masalah, akan tetapi bencana dapat bermula dari pengelolaan gambut yang abai dan tidak memperhatikan karakteristiknya sebagai lahan basah. Aliansi Insan Lingkungan Lestari (Ailints) sebuah organisasi di Jambi menyebutkan, para pihak baik pemerintah dan swasta memiliki tanggung jawab untuk melakukan restorasi untuk pemulihan dan pencegahan kebakaran di lahan gambut.
Menurut data, pemanfaatan lahan ekosistem gambut oleh Perusahaan HTI di Provinsi Jambi berdasarkan kedalaman gambutnya mencapai luasan 86.442 Hektar.
Diketahui sebanyak 11 perusahaan memegang izin pengolahan gambut untuk penanaman akasia, eukaliptus, dan perkebunan sawit serta pengolahan migas.
Perusahaan HTI dan Perkebunan Sawit diwajibkan membuat rencana pemulihan ekosistem gambut di areal konsesinya, membuat Titik Penaatan Tinggi Muka Air Tanah (TP-TMAT) manual dan TP-TMAT otomtatis (data logger) untuk mencapai TMAT 0,4 m, membuat stasiun pemantauan curah hujan (ombrometer), membuat sekat kanal dengan pelimpasan atau tanpa pelimpasan, dan pemulihan vegetasi melalui kegiatan rehabilitasi, revegetasi dan suksesi alami.
“Restorasi gambut di areal konsesi HTI dan Perkebunan menjadi tanggung jawab dan kewajiban perusahaan pemegang izin konsesi yang bersangkutan. Untuk itu, pemerintah melakukan audit kepatuhan,” kata Diki Kurniawan Direktur Ailints.
Dikatakan Diki, dari investigasi yang dilakukan Ailints, terdapat perusahaan yang belum mematuhi tinggi muka air gambut dan belum membuat sekat kanal.
“Ini berpotensi hilangnya air gambut di musim kemarau, sehingga lahan tersebut menjadi mudah terbakar,” kata Diki.
Untuk itu, kata Diki dengan memasuki musim kemarau panjang tahun 2023 yang berpotensi el nino, audit kepatuhan atas ketersediaan sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menjadi sangat penting untuk dilakukan. (*)