BANDAR LAMPUNG – Adanya kebijakan “bagi-bagi” lahan yang ada di Kota Baru, Jati Agung, Lampung Selatan, yang niat awalnya untuk membangun kompleks perkantoran Pemprov Lampung, hampir bisa dipastikan bakal menjadi masalah di masa depan.
Karena yang dilakukan saat ini bagaikan “bom waktu” yang bisa “meledak” kapan saja.
Mengapa demikian? “Karena bisa saja pemberian hibah kepada berbagai pihak selama ini tidak sesuai ketentuan.
Sederhananya, apa iya pemberian hibah dilakukan di hadapan PPAT dan ada akta dari PPAT-nya. Saya meragukan hal itu dilakukan, buktinya Polinela yang sejak 2018 menerima hibah lahan seluas 50 hektare sampai saat ini belum menerima bukti sertipikatnya. Bisa jadi, hal serupa dialami juga oleh penerima hibah lainnya,” kata praktisi hukum senior di Lampung, Yulius Andesta, Kamis (5/10/2023) malam.
Menurut dia, pada pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor: 24 Tahun 1997 dijelaskan, bahwa pemberian hibah harus dilakukan di hadapan PPAT dan dibuktikan dengan adanya akta dari PPAT. Hal ini merupakan syarat mutlak untuk mendaftarkan peralihan hak atas lahan yang dihibahkan.
“Memang bisa saja hibah dilakukan tidak di hadapan PPAT sepanjang memenuhi syarat materiil menurut undang-undang, tetapi penerima hibah akan mengalami kesulitan saat mendaftarkan balik nama dari pemberi hibah. Dan menurut informasi, selama ini pemberian hibah atas lahan di Kota Baru tidak mengikuti ketentuan tersebut. Lebih kepada acara seremoni karena besarnya unsur kepentingan dalam pemberian hibah,” urai Yulius Andesta, dan meminta Gubernur Arinal Djunaidi untuk mengevaluasi kebiasaan “bagi-bagi” lahan dengan sebutan hibah tersebut.
Ditambahkan, syarat hibah di antaranya adalah harus terang benda atau barang yang akan dihibahkan, nyata atau riil, dan memindahkan hak kepada orang lain.
“Kalau faktanya penerima hibah belum diberikan bukti kepemilikan yang sah berupa sertipikat atas hibah yang diterimanya, berarti pelaksanaan hibah oleh Pemprov Lampung selama ini belum memenuhi syarat. Dan ini akan menjadi masalah ke depannya. Ibarat pemprov menyimpan ‘bom waktu’ yang bisa meledak kapan saja,” ujar Yulius.
Mengenai adanya rencana Pemprov Lampung merelokasi lahan hibah yang telah diterima Polinela sejak 2018, Yulius menegaskan, apa yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali.
Praktisi hukum senior ini menguraikan pendapat Burgerlijk Wetboek seperti yang diatur dalam pasal 1666 BW, bahwa hibah adalah suatu persetujuan si penghibah, di waktu masih hidup, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali.
“Mau memakai istilah relokasi atau apapun juga, intinya kan mau menarik kembali lahan yang telah dihibahkan. Sudah jelas, sesuai ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan,” kata dia seraya menambahkan, Nabi Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari telah menyabdakan bahwa orang yang menarik kembali hibahnya, seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya.
Sebagaimana diketahui, kawasan Kota Baru di Jati Agung, Lampung Selatan, dengan luas total tidak kurang dari 1.580 hektare, telah banyak pihak yang diberi hibah tanah oleh Pemprov Lampung.
Yang terakhir, meski hanya seremoni semata, adalah penandatanganan pemberian hibah dari Gubernur Arinal Djunaidi kepada Universitas Lampung (Unila) berupa tanah seluas 150 hektare.
Program “bagi-bagi” lahan ini telah dilakukan sejak era Ridho Ficardo menjadi Gubernur Lampung. Pada 2018 misalnya, ia di antaranya menghibahkan lahan 50 hektare untuk Politeknik Negeri Lampung (Polinela), ke Korem 043/Gatam dan MUI. Pun ke UIN Raden Intan dan banyak lagi lainnya.
Arinal Djunaidi melanjutkan aksi “bagi-bagi” lahan ini. Namun, hingga saat ini belum satu pun penerima hibah yang mendapatkan sertipikat sebagai bukti kepemilikan atas lahan yang dihibahkan.
“Akibat belum adanya sertipikat sebagai bukti kepemilikan yang sah, kami belum bisa mengajukan permohonan bantuan untuk pemanfaatan dan pengembangan lahan yang ada dengan maksimal ke Kementerian,” kata Teguh, humas Politeknik Negeri Lampung (Polinela), Rabu (4/10/2023) siang.
Menurut dia, hal yang sama juga dialami oleh Unila yang mendapat hibah lahan di Kota Baru seluas 150 hektare.
“Beberapa waktu lalu, kami dari Polinela mengadakan pertemuan dengan Unila membahas tindaklanjut dari adanya hibah lahan tersebut. Tapi akhirnya mentok, karena sertipikatnya belum diberikan oleh pemprov,” urai Teguh.
Dan ternyata, bukan hanya soal ketidakjelasan sertipikat atas lahan hibah yang belum diberikan, tetapi belakangan muncul persoalan baru. Apa itu?
“Pemprov berencana merelokasi lahan yang sejak 2018 telah dihibahkan ke Polinela. Dengan alasan, lahan yang selama ini telah kami manfaatkan untuk berbagai kegiatan mahasiswa dan tanaman untuk uji laboratorium, akan digunakan bagi keperluan pemprov,” Teguh menerangkan.
Menurut data, pada 31 Agustus 2023 lalu, Pemprov Lampung mengirim “tim khusus” terkait rencana memindahkan lahan yang telah dihibahkan kepada Polinela tersebut.
Terdiri dari Asisten Bidang Administrasi Umum, Senen Mustakim, Kabid Pengelolaan Aset Daerah, Meydiandra Eka Putra, dan Kasubbag Penatausahaan Aset Daerah, Rofiq Nugroho.
Dalam pertemuan dengan Direktur Polinela tersebut, “tim khusus” pemprov mengungkap rencana merelokasi lahan yang sejak 2018 telah dihibahkan ke Polinela dan selama ini telah dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan perguruan tinggi tersebut.
Namun, “tim khusus” urusan geser-menggeser lahan hibah di Kota Baru itu, tidak bisa memastikan lokasi lahan sebagai pengganti bila pihak Polinela bersepakat.
Akhirnya? “Kami mempertahankan lokasi yang telah dihibahkan sejak lima tahun silam, karena memang sudah dimanfaatkan walau belum maksimal pemberdayaannya,” terang Teguh.
Tidak puas dengan pertemuan tanggal 31 Agustus, pada Senin (2/10/2023) lalu, giliran pihak Polinela yang audiensi ke Pemprov Lampung.
Dalam pertemuan dipimpin Sekprov Fahrizal Darminto didampingi beberapa pejabat dari OPD terkait, menurut penelusuran media ini, kembali pihak Polinela menegaskan sikapnya dan mempertanyakan belum diberikannya sertipikat atas lahan yang telah dihibahkan.
Sementara sebuah sumber menyatakan, munculnya rencana memindahkan atau menarik kembali lokasi lahan yang telah dihibahkan ke Polinela itu tidak lepas dari ide Kabid Pengelolaan Aset Daerah, Meydiandra Eka Putra.
“Dia yang punya ide dan disampaikan ke Gubernur. Kami tidak tahu apa kepentingan kabid pengelolaan aset daerah dalam hal ini, tapi dia punya skenario untuk menarik kembali lahan yang telah dihibahkan Polinela,” jelas sumber.
Benarkah Kabid Pengelolaan Aset Daerah, Meydiandra Eka Putra, “sang penentu” urusan “bagi-bagi” lahan di Kota Baru? Dihubungi Kamis (5/10/2023) siang, Meydiandra Eka Putra tidak mau berkomentar. (fjr)