JAKARTA – Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan mantan narapidana korupsi untuk nyaleg setelah lima tahun bebas dari penjara.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menilai seharusnya eks narapidana, khususnya koruptor, tidak duduk di jabatan publik lagi.
“Mestinya mantan koruptor ini gak boleh menduduki jabatan publik baik yang dipilih (Presiden, anggota DPR, kepala daerah) maupun tidak dipilih (Menteri, Komisaris Perusahaan, Direksi). Mestinya ini dilarang semua untuk jabatan itu,” ujar Boyamin, Minggu (4/12/2022).
MAKI desak pemerintah susun UU yang larang eks napi duduki jabatan publik.
Boyamin mengatakan bahwa MAKI akan mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat Undang-Undang yang mengatur larangan bagi eks narapidana duduk di jabatan publik. Sebab, hal itu bisa jadi pesabagi masyarakat bahwa korupsi diberantas secara serius.
“Mereka hanya boleh duduk di jabatan swasta, mendirikan perusahaan dan sebagainya. Toh mereka gak dimatikan hak perdatanya,” jelas Boyamin.
Mantan napi harusnya dilarang duduki jabatan publik
MAKI mendesak agar mantan napi, khususnya kasus korupsi, tidak boleh lagi duduk di jabatan publik. Sebab, hal ini demi kebaikan bangsa.
“Karena misalnya kemarin mantan napi koruptor masih jadi komisaris BUMN dan dikecam seluruh masyarakat. Maka demi kebaikan bangsa, mantan napi koruptor ga boleh duduk di jabatan publik,” jelasnya.
MK kabulkan gugatan sebagian permohonan uji materi UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi soal UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketua MK, Anwar Usman, mengatakan, mantan terpidana tak bisa ikut pemilu legislatif begitu mereka menghirup udara bebas. Mantan narapidana harus menunggu 5 tahun dulu untuk bisa ikut nyaleg.
Gugatan permohonan uji materi itu diajukan oleh karyawan swasta, Leonardo Siahaan. Tujuan awal ia menggugat UU Pemilu tersebut yakni untuk mencegah agar residivis kasus korupsi tak bisa kembali mengajukan diri sebagai anggota legislatif.
Menurut MK, norma Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara bersyarat.
Pasal 240 Ayat (1) huruf g di dalam UU Pemilu menyebut bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota adalah WNI dan harus memenuhi beberapa persyaratan. (nh)