Oleh: Gunawan Handoko
GEBRAKAN awal kepemimpinan Walikota Bandar Lampung Edy Sutrisno pada tahun 2005 adalah menata kawasan Way Halim menjadi Taman Hutan Kota sekaligus mempertahankan statusnya sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
Diawali dengan pembuatan embung untuk mengantisipasi terjadinya banjir di kawasan Perumnas Way Halim, sekaligus sebagai taman pemancingan bagi pengunjung. Disana juga dibangun musholla, agar para pemancing yang muslim tidak melupakan shalat.
Para pedagang tanaman bunga berdatangan, turut menyemarakkan Taman Hutan Kota (THK) Way Halim. Bukan itu saja, di THK tersebut juga disiapkan lahan untuk taman bermain anak-anak, perpustakaan mini, bahkan gedung Sekretariat PKK Kota Bandar Lampung.
Saya sebagai bawahan yang membidangi perencanaan di Dinas PU Kota Bandar Lampung, sempat diberi tugas untuk merencanakan Taman Pintar di lokasi tersebut, walau tidak sebesar Taman Pintar-nya Yogyakarta. Alhasil, dalam waktu sekejap, kehadiran THK mendapat sambutan hangat dari masyarakat Kota Bandar Lampung yang haus adanya ruang publik sebagai tempat untuk berinteraksi sosial sekaligus hiburan bagi anak-anak.
Selama kurun waktu lebih kurang 5 tahun, tidak pernah terdengar ada pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan tersebut. Semua berjalan aman-aman saja.
Baru di awal kepemimpinan Walikota Bandar Lampung Herman HN tahun 2010, tiba-tiba muncul pihak swasta yang mengaku sebagai pemegang HGU dan melakukan atraksi ugal-ugalan dengan membongkar semua bangunan yang ada, termasuk warung-warung semi permanen yang ada di kawasan tersebut.
Ironisnya, tidak ada pihak yang merasa kehilangan atas lenyapnya fasilitas yang dibangun dengan menggunakan dana APBD alias uang rakyat. Padahal, untuk menghapus bangunan milik negara, ada aturannya, tidak bisa semaunya sendiri. Bahkan Panitia Kerja DPRD Kota Bandar Lampung yang sebelumnya telah berjanji akan menyelamatkan THK Way Halim, ternyata justru berpihak kepada pihak swasta, dengan membatalkan rencana pencabutan hak guna usaha (HGU) yang dipegang pihak pengusaha.
Lebih mengejutkan, Walikota Bandar Lampung Herman HN menyatakan, bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengatur. Alasannya, lahan tersebut milik perorangan. Dengan entengnya Walikota Herman HN mengatakan, tidak ada istilah lahan Hutan Kota.
Bila demikian halnya, maka menjadi sah jika ada masyarakat yang ngotot mempertahankan sebagian tanah berikut tanam tumbuh dan bangunannya untuk kepentingan pelebaran jalan, misalnya. Pemerintah tidak bisa memaksa atau mengatur, karena itu hak milik masyarakat. Disinilah letak tidak konsistennya para pemimpin negeri. Di satu sisi mengakui kepentingan lingkungan hidup, namun di sisi lain menekankan pada pentingnya sektor perkembangan perekonomian. Para pembuat keputusan meyakini bahwa pelaksanaan konsep keberlanjutan justru akan merusak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, ketika harus memilih antara mempertahankan ruang terbuka hijau (RTH) atau memberikan izin pada pembangunan industri, maka yang terakhir biasanya dimenangkan. Padahal, jika Walikota Bandar Lampung ingin membangun kota yang demokratis dan manusiawi, maka pernyataan diatas tidak perlu ada. Jika ditinjau dari perspektif UU Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor: 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Sebagai Daerah Otonom, seharusnya menjadi momentum yang tepat dalam penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, khususnya dalam rangka mempertahankan eksistensi RTH di lingkungan perkotaan.
Adalah hal yang wajar bila sebagian besar warga masyarakat – khususnya warga Kota Bandar Lampung – merasa gemas, was-was bercampur bingung terkait akan hilangnya Taman Hutan Kota yang selama lebih kurang 5 tahun lamanya sudah terlanjur menjadi taman publik.
Jujur saja, waktu itu saya tidak begitu percaya dengan lembaga wakil rakyat. Karena hampir semua kasus selalu berakhir dengan mengecewakan. Tapi saya tidak dapat berteriak karena masih berstatus sebagai PNS. Meski kegelisahan tersebut masih ada, tapi kali ini saya masih berharap bahwa Dewan akan bertindak sangat hati-hati dengan hati nurani yang paling dalam. Karena jika sampai keliru dalam mengambil keputusan, maka dampak buruknya akan diingat masyarakat sepanjang masa.
Dewan tentu sangat paham, bahwa Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung harus memiliki estetika dan perwajahan kota yang memadai. Dewan tentu sudah paham, bagaimana seharusnya mengelola dan membangun kota, yakni tetap menghargai harkat hidup dan martabat manusia.
Cara kita membangun dan menata kota bisa menjadi alat yang kuat untuk membangkitkan kesetaraan dan kesatuan sosial.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada di kawasan tersebut agar dipertahankan peruntukannya. Harus disadari, bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi Pemerintah Kota Bandar Lampung saat ini adalah mewujudkan ruang terbuka hijau (RTH) dalam luasan yang cukup dan memadai. Selain berfungsi sebagai paru-paru kota, keberadaan RTH ini sekaligus dapat menjadi fasilitas publik atau public space. Bahkan bukan hanya membangun fasilitas publik, tetapi menyediakan fasilitas sarana prasarananya yang berkualitas dan bercita rasa.
Di ruang publik ini semua orang dapat menemukan kesetaraan tanpa batas. Miskin atau kaya, pejabat atau rakyat jelata, profesor maupun tukang becak, di ruang publik semua menjadi sama. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, dimana kebanyakan bermukim di lingkungan yang tidak memiliki ruang publik, maka pembangunan ruang publik yang dilengkapi dengan fasilitas cita rasa, sangatlah penting. Contoh, untuk mendukung program Pemerintah Kota Bandar Lampung di bidang pendidikan, bisa saja di kawasan Hutan Kota didirikan taman pintar atau perpustakaan umum. Dengan demikian, orang miskin sekalipun bisa datang ke tempat itu. Bukan karena kekayaannya atau memiliki latar pendidikan yang tinggi, tapi cukup sebagai warga negara karena di perpustakaan, mereka merasa diterima dan dihargai.
Di antara hijaunya pepohonan, disana terdapat sarana dan prasarana untuk bermain bagi anak-anak serta jalan setapak bagi mereka yang ingin olahraga dengan berjalan kaki. Harap diingat, bahwa kita semua adalah makhluk pejalan kaki. Maka berjalan kaki bukanlah untuk mempertahankan hidup, melainkan untuk kebahagiaan hidup.
Jika sebuah kota mampu memberikan kenyamanan hidup kepada anak-anak, orang dewasa dan lanjut usia, berarti kota itu mampu memberikan kenyamanan kepada siapapun juga. Akibat kecerobohan di dalam mengelola kota, akhirnya hampir semua kota di negeri ini telah berubah dari fungsi kota yang sebenarnya, yakni sebagai pusat interaksi sosial dalam rangka menumbuhkan rasa cinta dan kebanggaan masyarakat sebagai warga kota.
Kini saatnya kita menunggu sebuah proses yang sedang berjalan antara pihak eksekutif dan legislatif untuk membahas tentang nasib Taman Hutan Kota kedepan. Maka tidak salah jika proses ini kita sebut sebagai ’ujian’ bagi Dewan, dimana kaki akan berpijak.
Yang pasti, Taman Hutan Kota Way Halim telah terlanjur menabur seribu cinta dan kenangan bagi masyarakat di Kota Bandar Lampung.
Bila para pemimpin dan wakil rakyat tidak lagi berpihak kepada rakyat, maka itu sebuah peringatan agar kita tidak bodoh dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat di masa mendatang.
*(Penulis: Pemerhati Lingkungan).