HeadlineHukum & KriminalLampung Raya

Jamwas Kejagung Harus Periksa yang Menghentikan Proses Hukum Kasus Tipikor

BANDAR LAMPUNG – Kabar penghentian penyelidikan kasus dugaan tindak pidana penyimpangan anggaran makan minum Bupati-Wabup Lamtim tahun 2022 dengan alasan kerugian negara telah dikembalikan, jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.

“Pasal 4 UU Tipikor menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3,” kata praktisi hukum senior di Lampung, Yulius Andesta, Rabu (7/2/2024).
Dijelaskan, dalam pasal tersebut sangat jelas, pengembalian hasil kejahatan tidak menghapuskan perbuatan pidananya.

“Mengapa? Perbuatan itu adalah delictnya, bukan kerugian atau akibatnya. Jadi, hukum pidana itu yang pokok adalah delict dan unsur-unsur delictnya atau perbuatannya.

Maka menjadi aneh dan hal yang luar biasa bila suatu kasus tindak pidana korupsi itu dihentikan, kejahatan yang berdampak luar biasa tidak diproses hukum. Tentu kita semua sangat-sangat miris kalau benar Kejari Lamtim menghentikan penyelidikan kasus tersebut.

Menurut saya, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung harus memeriksa jajarannya di Kejari Lamtim yang menghentikan proses hukum kasus korupsi ini,” tutur Yulius Andesta, seraya menambahkan, adanya pengembalian kerugian negara yang dilakukan Bupati Dawam Rahardjo adalah bukti telah terjadinya tindak pidana korupsi itu sendiri.

Sebagaimana diketahui, seiring dikembalikannya kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi makan minum Bupati-Wabup Lamtim tahun 2022 oleh Bupati Dawam Rahardjo, Selasa (6/2/2024) siang, ke Kejari Lamtim senilai Rp 1.490.242.750, Kasi Pidsus Marwan menyatakan penyelidikan perkara kejahatan anggaran itu dihentikan penyelidikannya.

Kepada pelapor perkara itu, Johan Abidin, Kasi Pidsus Kejari Lamtim, Marwan, mengaku dengan telah dikembalikannya kerugian negara, tidak ada alasan lagi bagi pihak Kejari meneruskan proses hukumnya.

Bagi praktisi hukum Yulius Andesta, suatu delict atau perbuatan pidana, tidak mengenal kompromi (kompromis), apalagi kejahatan itu tergolong khusus dan luar biasa.

“Sesuai undang-undang, perkara pidana itu tidak mengenal kata perdamaian. Setiap perbuatan kejahatan, harus dihukum,” tegas dia.

Mengenai sikap Kejari Lamtim yang menghentikan proses penyelidikan dengan alasan kerugian negara telah dikembalikan, Yulius menyatakan, bila para yang berwenang melakukan hal tersebut, dapat dikategorikan telah melakukan delict pembiaran ataupun turut serta, apalagi perkara ini dalam wewenangnya.

Menurut dia, jika pengembalian kerugian negara dilakukan pada tahap penyelidikan dan proses hukum dari tindak pidana korupsi tersebut tidak dilanjutkan atau dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur kerugian negara, atau mengingat kerugian negara sudah dikembalikan, maka hal itu adalah penafsiran keliru yang tidak bersumber pada hirarki hukum yang ada.

“Sebab yang disebut Badan Peradilan di Indonesia itu adalah dari Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dengan seluruh tingkatannya masing-masing, merupakan kesatuan proses hukum yang tidak dapat dilaksanakan secara terputus-putus,” ujarnya.

Oleh karenanya, lanjut Yulius Andesta, proses penghentian perkara korupsi tersebab telah ada pengembalian kerugian negara adalah proses yang cacat hukum.

Sebagaimana mengacu pada rumusan Pasal 18 ayat (1) huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan
“selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah b. pembayaran uang pengganti
yang jumlahnya sebanyak harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi”.

Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi disebutkan: “jika terpidana tidak membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam
waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut. Adapun Pasal 18 ayat (3) Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan: “dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman pidana maksimum dari
pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan
karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan”.

Yulius menambahkan, dalam
upaya pengembalian kerugian keuangan negara atas terjadinya tindak pidana
korupsi, secara yuridis dapat dimulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan
tahap eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan. (fjr)

Related Posts