Oleh: Dr. Wendy Melfa
*ASBAB KEHADIRAN
DRAMA dan teka-teki politik tentang siapa pengisi ruang penjaga kekuasaan pemerintahan daerah di Provinsi Lampung pasca berakhirnya jabatan Gubernur Lampung 12 Juni lalu, tuntas sudah setelah ditunjuk dan dilantiknya Staf Ahli Bidang Hukum Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Samsudin, sebagai Pejabat (Pj) Gubernur Lampung.
Pelantikan itu sempat diawali dengan penunjukan Sekretaris Daerah Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto, sebagai Plh Gubernur Lampung yang bertugas selama seminggu, menyusul belum ditetapkan dan dilantikannya Pj Gubernur Lampung pasaca berakhirnya masa jabatan Gubernur definitif. Dan sempat terdapat drama tentang usulan dan teka-teki nama-nama calon Pj Gubernur Lampung dari DPRD Lampung.
Jabatan Pejabat (Pj) Gubernur Lampung, sebagaimana juga terjadi pada sejumlah daerah provinsi, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia, merupakan implikasi dari hadirnya kesepakatan politik yang dituangkan dalam UU Pilkada (hukum merupakan resultante proses politik) yang mengamanahkan digelarnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 27 November 2024 pada 514 daerah kabupaten/kota dan 38 daerah provinsi.
Ketentuan UU ini membawa konsekuensi terhadap daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir, diisi oleh pejabat yang memenuhi persayaratan dan ditunjuk oleh kepala pemerintahan satu tingkat di atasnya untuk menjalankan pemerintahan di daerah, agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan (vacum of power) dan menjaga kesinambungan pemerintahan, sampai terpilih dan dilantiknya Gubernur Lampung hasil pilkada serentak 2024.
*ADANYA KARENA, UNTUK MENJADIKAN
Menarik apa yang dipesankan oleh Mendagri Tito Karnavian dalam sambutannya saat melantik Samsudin sebagai Pj Gubernur Lampung (laman situs resmi Kemenpora RI, 24 Juni 2024), yang mengharapkan agar Pj Gubernur bisa cepat beradaptasi dengan situasi, selain hal-hal reguler pemerintahan, juga memberi perhatian akan pelaksanaan pilkada serentak yang akan membuat situasi politik sedikit memanas.
Pilkada harus berlangsung dengan baik dan Lampung diharapkan bisa menjadi keteladanan pilkada yang paling rapi, paling baik, dan tidak terkendala apapun. Yang penting bangun komunikasi dengan semua pihak, laksanakan tugas dengan baik.
“Kemampuan komunikasi sosial jauh lebih penting dibandingkan kemampuan teknokratik,” demikian dipesankan oleh Tito.
Pesan Mendagri tersebut seakan menggambarkan logika semantik bahasa sebab akibat, makna dari sebuah kata yang menerangkan sebab (asbab) lalu menimbulkan suatu makna konsekuensi akibat.
Dengan kata lain dapat disebutkan; hadirnya Pj Gubernur karena adanya program nasional pelaksanaan pilkada serentak. Untuk itu, lakukan hal terbaik agar dapat terlaksana pilkada yang paling baik, hingga menghadirkan kepala daerah (definitif) hasil kontestasi pilkada terbaik.
Tugas Pj Gubernur secara umum adalah menyelenggarakan fungsi reguler pemerintahan di daerah, secara khusus mempersiapkan pelaksanaan pilkada yang baik. Setali tiga uang, melalui pernyataannya (Antara Lampung, 21 Juni 2024) Pj Gubernur Lampung pun sudah menyampaikan: “pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus dapat dilaksanakan dengan baik dan kondusif “. Seluruh perangkat daerah netral, jujur, sesuai dengan aturan yang ada, demikian Pj Gubernur dalam sambutannya.
*KONSEKUENSI KEBIJAKAN
Perhatian Mendagri dan Pj Gubernur terhadap pelaksanaan pilkada yang baik dan kondusif tersebut merupakan konsekuensi arti pentingnya pelaksanaan pilkada sebagai mekanisme demokrasi dan ketatanegaraan untuk memilih para kepala daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam ketatanegaraan Indonesia yang menjalankan sistem pemerintahan presidensial, Presiden merupakan kepala pemerintahan yang dalam menjalankan pemerintahan di daerah diselenggarakan oleh kepala daerah. Dapat dipahami bahwa secara fungsi pemerintahan, kepala daerah adalah “orangnya” Presiden yang menjalankan pemerintahan daerah.
Itulah sebabnya, penentuan siapa yang dipilih dan dilantik untuk menjadi Pj Gubernur kewenangannya ada pada Presiden, dan untuk Pj Bupati/ Walikota kewenangan pengangkatannya ada pada Mendagri atas nama Presiden RI.
Indonesia sebagai Negara Kesatuan dibagi atas daerah-daerah provinsi, selanjutnya daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap diantaranya mempunyai pemerintahan daerah sebagaimana diatur menurut UU (vide Pasal 18 UUD 1945). Pemerintahan daerah itu dipimpin oleh kepala daerah yang dipilih secara demokratis, dan tiap-tiap daerah mempunyai DPRD hasil pemilihan umum.
Rangkaian narasi ini dihadirkan untuk menegaskan hirarki ‘benang merah’ landasan hukum dan konstitusi hadirnya kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan dari Presiden (pemerintah pusat) sampai kepala daerah (pemerintah daerah). Atensi penyelenggaraan pilkada yang baik, kondusif, dan netral dari Mendagri yang notabene pembantu Presiden, juga direspon oleh Pj Gubernur yang juga ditunjuk oleh Presiden, merupakan bentuk atensi penyelenggara negara dan pemerintah pusat agar pilkada berjalan baik, kondusif, dan semua stakeholders yang terkait dengan pilkada, baik itu penyelengara termasuk aparat keamanan, bisa bertindak netral dan profesional dalam kerangka membangun suasana kondusif terselenggaranya pilkada yang baik.
Manakala ditemukan dan dirasakan terdapat indikasi tidak netralan, tidak profesional, dan atau tidak menjaga suasana kondusif, apalagi bila sampai ada indikasi oknum penyelenggara dan atau organ pendukung, seperti aparat keamanan, “dimanfaatkan” oleh kekuatan politik tertentu untuk keuntungan politik kelompoknya, maka Pj Gubernur dapat “membereskannya”, dengan cara membangun komunikasi sosial yang antisipatif dan solutif dengan berbagai pihak, atau meneruskannya dalam bentuk laporan kepada Presiden melalui Mendagri untuk cegah dini dan ditindaklanjuti demi terciptanya suasana kondusif, netral, profesional dan terselenggaranya pilkada yang baik sebagai penuntasan agenda nasional Bangsa Indonesia, semoga.
*Penulis: Peneliti pada Ruang Demokrasi (RuDem).