JAKARTA — Kebudayaan memiliki hubungan erat dengan daya tahan bangsa dan negara. Hanya bangsa dan negara yang mampu mengembangkan kebudayaan demi menghadapi tantangan jaman yang tidak mudah yang dapat bertahan di peta dunia.
Demikian antara lain kesimpulan yang disampaikan pakar hubungan internasional DR. Teguh Santosa ketika menutup kuliah umum “Culture and Diplomacy Talks” dengan nara sumber Duta Besar Republik Tunisia untuk Republik Indonesia Mohamed Trabelsi di kampus FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Senin, 4 November 2024.
“Dalam kaitan ini budaya tidak sekadar berupa tarian dan nyanyian, melainkan lebih dari itu adalah way of life atau cara hidup yang tumbuh di tengah masyarakat serta diwariskan dan terus dikembangkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya dalam hal ini adalah elan atau semangat perjuangan dan daya cipta yang dapat menggerakkan suatu bangsa untuk tetap kokoh,” ujar Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) ini.
Kuliah umum ini dihadiri lebih dari 100 mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah yang mengambil mata kuliah “HI dan Kebudayaan” di semester tiga. Juga hadir dalam kuliah umum itu Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah dan Ketua Program Studi HI FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Robi Sugara, M.Sc.
Tiga mahasiswa terpilih menjadi spokespersons yang mendampingi Dubes Trabelsi. Ketiganya adalah Nadia Putri Khairan, Athaya Raihan Nasywa Bramoro, dan Evan Andhika Suci. Sementara mengawali kegiatan, kelompok tari mahasiswa “Seaflowers” mempersembahkan tari-tarian bernuansa Tunisia dan Timur Tengah serta nyanyian yang memukau.
Dalam sambutan membuka kuliah umum, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Dzuriyatun Toyibah, berharap kuliah umum ini menjadi awal dari kerja sama yang lebih signifikan antara kedua negara, khususnya bagi UIN Syarif Hidayatullah dengan perguruan tinggi di Tunisia.
Sebagai respon atas pernyataan Prof. Dzuriyatun, Dubes Trabelsi mengatakan, dirinya juga tidak sabar untuk menjalin kerja sama lebih lanjut antara kedua negara, khususnya di bidang pendidikan.
Hubungan Indonesia dan Tunisia
Dalam kuliah umumnya, Dubes Trabelsi memaparkan sejumlah kaitan kedua bangsa dan negara secara historis. Dia memperkenalkan sosok seorang pelukis hebat kebanggan Tunisia, Hatem El Mekki. Hatem lahir di Batavia, 16 Mei 1918. Ayahnya warga Tunisia yang menetap di Jakarta pada masa itu. Sementara ibunya wanita Indonesia keturunan Tionghoa.
Di tahun 1924, Hatem El Mekki dan keluarga pindah ke Tunisia, tanah kelahiran ayahnya yang saat ini merupakan protektorat Prancis. Hatem El Mekki meninggal dunia di Kartago, sebuah kota tua di Tunisia yang berada di sebelah timur Danau Tunis, pada 23 September 2003. Dia dikenang sebagai salah seorang pelukis hebat Tunisia sampai akhirnya hayatnya.
Karya-karyanya dipengaruhi oleh visualisasi hutan tropis Indonesia dan berbagai motif kain batik.
Selain kisah mengenai Hatem El Mekki, Dubes Trabelsi juga menceritakan kisah persahabatan kedua negara di era dekolonisasi seusai Perang Dunia Kedua. Di tahun 1951, pemimpin gerakan perlawanan Tunisia, Habib Bourguiba, datang ke Jakarta menemui Presiden Sukarno.
Dalam pertemuan di Jakarta, Presiden Sukarno berjanji memberikan dukungan pada upaya Tunisia melepaskan diri dari penjajahan Prancis. Perwakilan Tunisia juga hadir dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) yang digelar pada tahun 1955. Setahun kemudian, Tunisia berhasil mengakhiri pendudukan Prancis.
Sebagai penghormatan atas jasa Presiden Sukarno bagi kemerdekaan Tunisia, tanggal 6 Juni 2024 lalu nama Presiden Sukarno diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kawasan bergengsi di Tunis, Les Berges du Lac.
*Sejarah 3.000 Tahun
Hal lain yang juga perlu dicatat bahwa sejarah Tunisia berawal jauh sebelum akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20.
Sejarah Tunisia, sebut Dubes Trabelsi, setidaknya berasal dari 3.000 tahun lalu. Di tahun 814 Sebelum Masehi Ratu Elissa atau Dido dari Punisia mendirikan Kartago, diikuti Perang Punic yang berlangsung tiga kali pada 264-241 SM, 218-201 SM, dan 149-146 SM. Di masa ini, kekuasaan Tunisia sempat meluas hingga seluruh Laut Mediterania, sisi selatan Andalusia, Pegunungan Alps, sampai selatan Italia termasuk Sisilia, Sardinia, dan Corsica.
Perang Punic Ketiga membawa kehancuran bagi Kartago. Salah seorang Senator Romawi pada masa itu, Marcus Porcius Cato menggunakan slogan “Carthago Delenda Est” yang artinya “Binasakan Kartago” untuk membakar semangat tentara Romawi.
Bulan Mei lalu, saat merayakan ulang tahun ke-40, pendiri Meta dan Facebook Mark Zuckerberg mengenakan kaos bertuliskan kalimat yang dianggap warga Tunisia sebagai penghinaan itu. Mark Zuckerberg diserang netizen Tunisia dan dipaksa meminta maaf.
Di bawah kekuasaan Romawi, Kartago diletakkan sebagai provinsi dengan nama Africa atau Africus yang berarti negeri rumah-gua. Setelah Romawi takluk di abad ke-5, Tunisia memasuki Era Vandal dari 429-532 Masehi yang ditandai dengan kehadiran penguasa bangsa Jermanik.
Setelahnya Romawi kembali berkuasa di Era Bizantium. Romawi baru benar-benar menjauh dari Tunisia setelah Tunisia memasuki periode Islam sejak abad ke-9 M, diawali Dinasti Aghlabid atau Aghlabiyyah (800-909), Dinasti Fatimid atau Fatimiyah (909-972), Dinasti Sanhajjah (972-1160), Dinasti Almohades atau Muwahiddun (1160-1228), Dinasti Moravid atau Murabithun (1228), Dinasti Hafsid atau Hafsiyun (1228-1448).
Pada periode Islam inilah Tunisia mencatat kebangkitan di bidang ilmu pengetahuan. Universitas Ez Zitouna, misalnya, yang berdiri di akhir abad ke-7 dan awal ke-8 ikut mendorong berbagai perkembangan di Tunisia pada masa itu.
Selain itu, salah seorang ilmuwan dan sejarawan dari Tunisia, Ibnu Khaldun, yang lahir di tahun 1332 di era berikutnya dikenal luas di berbagai belahan dunia sebagai pendiri ilmu sosial dan ekonomi Islam.
Selanjutnya Tunisia memasuki era Ustmaniah dari 1228 sampai 1881 saat Perjanjian Bardo yang menempatkan Tunisia sebagai protektorat Prancis ditandatangani pemimpin Tunisia saat itu, Bey Muhammad As-Sidiq.
Setelah merdeka pada 1956, pejuang kemerdekaan Tunisia Habib Bourguiba dilantik sebagai Perdana Menteri dan setahun kemudian sebagai Presiden sampai tahun 1987 saat dokter menyatakan dirinya sakit dan tidak dapat melanjutkan kekuasaan.
Kondisi kesehatan Presiden Bourguiba yang menurun mendorong Perdana Menteri Zine El Abidine Ben Ali mengambil kekuasaan sebagai Presiden. Ia memimpin negara itu sampai revolusi yang terjadi pada 2011 di satu masa yang disebut Pergolakan Musim Semi Arab.
Kini Tunisia dipimpin Presiden Kais Saied yang pada tanggal 6 Oktober 2024 lalu kembali terpilih untuk periode kedua.
Dubes Trabelsi juga menambahkan, di era kontemporer, Tunisia berperan aktif di panggung internasional pada sejumlah isu penting.
Tunisia, misalnya, mulai menjalin hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) saat mengikuti KAA di Bandung. Hubungan diplomatik keduanya di mulai Januari 1964. Pada tahun 1971, Tunisia mendukung Resolusi Majelis Umum PBB 2758 yang menganjurkan agar RRT menggantikan Republik Tiongkok di PBB.
Tunisia juga berpihak pada Gerakan Non Blok, mengecam keras politik apartheid di Afrika Selatan, serta merupakan salah satu pendukung utama kemerdekaan Palestina. (*)