HeadlineLampung RayaPolitik

Pilkada 2024 Berbuah Golput dan Gercos

Oleh : Gunawan Handoko

Pemungutan suara pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak telah berlangsung pada 27 November 2024 dengan aman, nyaman, dan damai. Semua ini tentu berkat kerja keras dari semua pihak, baik Polri, TNI, pihak penyelenggara maupun masyarakat. Berdasarkan hitung cepat atau quick count, telah diketahui siapa pasangan calon kepala daerah yang mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin lima tahun ke depan.

Sayangnya, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2024 masih rendah, lebih rendah dari Pemilu Presiden dan Legislatif 2024 lalu. Berdasarkan data yang ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercatat tingkat partisipasi pemilih secara nasional rata-rata di bawah 70 persen. Bahkan, Pilgub DKI Jakarta yang diperkirakan bakal seru, tingkat golongan putih (golput) mencapai 46,95 persen. Selain golput, banyak juga suara rusak akibat semua calon di coblos. Boleh jadi, ini dilakukan oleh penganut gerakan coblos semua (Gercos).

Fenomena ini terjadi hampir di semua daerah, termasuk Provinsi Lampung. Selain banyaknya golput, juga banyak suara yang tidak sah akibat dicoblos semua, bukan salah coblos. Maka tidak salah jika banyak pihak yang menilai bahwa pemilu (termasuk pilkada) baru berhasil memilih pemimpin, namun secara kualitas masih jauh dari harapan.

KPU sebagai pihak pernyelenggara tidak bisa hanya berkacamata kuda, namun harus melakukan evaluasi secara menyeluruh atas kinerja yang dilakukan selama ini. Mengapa orang memilih golput dan mengapa banyak orang yang melakukan coblos semua? Tentu salah satu alasan utama adalah tidak cocoknya atau tidak puasnya terhadap kandidat yang ada. Ditambah lagi, penyelenggaraan Pilkada 2024 yang waktunya berdekatan dengan Pemilu 2024 yang menimbulkan kejenuhan bagi pemilih.

Publik merasa letih dan jengah karena situasi sosial belum pulih setelah ketegangan di tingkat nasional terkait Pemilu Legislatif dan Pilpres. Namun memilih golput tidak selalu terkait dengan tindakan ’protes’ atau kurang pemahaman tentang pemilu, melainkan karena masalah administrasi.

Contoh, dalam menyusun DPT di setiap TPS terkesan asal-asalan tanpa memperhatikan domisili pemilih. Banyak pemilih yang memilih bukan di TPS terdekat, melainkan di lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya. Ini menjadi penyebab utama bagi pemilih untuk tidak menggunakan hak suaranya.

Apakah ini unsur kesengajaan, ataukah cara kerja KPU yang memang tidak profesional? Masa transisi kepemimpinan komisioner KPU tidak bisa dijadikan alasan atas karut-marutnya DPT, karena tahapan proses penyusunan DPT sudah baku, diawali dengan pendaftaran pemilih (pantarlih) yang petugasnya merupakan warga setempat. Artinya, untuk menentukan daftar pemilih di masing-masing TPS hanya tinggal menyalin data dari pantarlih.

Para petugas KPPS pun kesulitan dalam menyampaikan surat undangan C6 karena banyak pemilih yang tidak dikenal. Akibatnya, ada pemilih yang kehilangan hak pilihnya karena tidak mendapat undangan.

Para pemilih juga tidak dapat melakukan perpindahan atau mutasi tempat memilih karena mereka baru tahu TPS tempat memilih mendekati hari pemungutan suara, sehingga tidak cukup waktu untuk mengajukan perpindahan atau mutasi. Akhirnya mereka memilih untuk golput, terutama pemilih yang telah berusia sepuh.

Ironisnya, karut marutnya DPT di setiap TPS selalu terulang dari pemilu ke pemilu, sementara pihak badan pengawas pemilu (Bawaslu) terkesan apatis dan masa bodoh.

Harus disadari, tingginya golput bisa berakibat negatif dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal satu suara saja bisa menjadi penentu kemenangan kandidat tertentu dan bisa mengubah perjalanan bangsa untuk lima tahun ke depan.

Hal yang penting lagi, meskipun seseorang terpilih, namun jika angka golputnya tinggi maka ia tidak memperoleh dukungan sepenuhnya dari masyarakat. Negara demokrasi adalah negara yang melibatkan partisipasi seluruh warganya dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui perwakilan.

Pilkada 2024 seharusnya menjadi pelajaran dan evaluasi bagi semua pihak, khususnya partai politik (parpol) dalam menentukan kandidat kepala daerah.

Harus diakui secara jujur, bahwa parpol memiliki kontribusi dibalik tingginya angka golput. Boleh jadi, kandidat yang diusung parpol tidak selaras dengan aspirasi masyarakat atau tidak representatif. Jika demokrasi di negeri ini bisa sehat, maka dalam menentukan calon kepala daerah harus dilakukan dari akar rumput guna untuk mengakomodasi kepentingan politik dan representasi masyarakat. Rakyat tidak bisa dipaksa untuk memilih calon yang bukan menjadi pilihannya.

Terbukti, pilkada di beberapa daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon ternyata harus kalah melawan kotak kosong. Padahal kita tahu bahwa pasangan calon tersebut diusung oleh mayoritas parpol yang ada.

Sesungguhnya, parpol memiliki peran krusial dalam dinamika pilkada, bukan hanya berfungsi sebagai perahu politik bagi para calon, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menyodorkan bakal calon yang berkualitas dan memiliki karakteristik yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Inilah tantangan bagi parpol ke depan dalam proses pencalonan kepala daerah, mencakup transparansi dan dominasi para elite di tingkat pusat yang dapat berakibat sikap apatis masyarakat terhadap parpol. Jangan sampai parpol kehilangan ruh demokrasi, yakni ’dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’.

*Penulis: Pemerhati politik dari PUSKAP Wilayah Lampung.

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.