EkbisHeadlineLampung Raya

Gawat!!!, Kini Giliran PT Budi Starch & Sweetener Tidak Lagi Beli Singkong Petani

LAMPUNG UTARA – Persoalan yang melilit harga singkong tampaknya tidak sesederhana yang dibayangkan. Adanya Keputusan Bersama tanggal 23 Desember 2024 antara Pemprov Lampung, 24 perusahaan tapioka, dan petani bila harga ubi kayu itu Rp 1.400 per-Kg dengan rafaksi maksimal 15%, belakangan justru memunculkan “riak” yang ditengarai akan terus bersahutan.

Apakah “riak” tersebut? Tidak lain adalah adanya “gerakan tutup pabrik”, dengan demikian mereka tidak lagi perlu membeli singkong petani. Menyusul apa yang dilakukan PT Teguh Wibawa Bhakti Persada, perusahaan tapioka skala besar yang beralamat di Jalan Lingkar Luar Desa Kalicinta, Kecamatan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara, dengan tidak lagi membeli singkong petani sejak Kamis (23/1/2025) kemarin dengan alasan pabrik tutup, kini hal serupa dilakukan oleh PT Budi Starch & Sweetener.

Perusahaan yang dikenali merupakan anak usaha PT Bumi Waras Group sebagai divisi tapioka beralamat di Pakuan Agung, Kecamatan Marga Sungkai, Lampung Utara, ini melalui surat pernyataan tertanggal 23 Januari 2023 yang ditandatangani pimpinan pabrik, Indram, menyampaikan dua poin.

Pertama: Dikarenakan kami belum bisa memberlakukan Surat Edaran Gubernur (harga pembelian Rp 1.400/Kg, rafaksi maksimal 15%), maka hari Jum’at, 24 Januari 2025, pabrik tutup tidak membeli singkong, baik dari petani ataupun lapak, sampai ada ketentuan lebih lanjut.

Kedua: Apabila kami tidak menjalankan surat pernyataan ini, maka kami siap disanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Adanya “gerakan tutup pabrik” ini, memang tampak frontal. Hal yang lebih “halus” dilakukan oleh PT Umas Jaya Agrotama Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Dimana melalui pengumuman nomor: 04/15/UJA-TB/D.6/1/2025, tanggal 15 Januari 2025, yang ditandatangani Adas Widiasmoro, selaku plant based production head, menyatakan bahwa terhitung hari Kamis (16/1/2025), pabrik siap membeli singkong senilai Rp 1.400 per-Kg dengan rafaksi 15%. Namun ada tambahan persyaratan, yaitu kadar pati minimal 24%.

Terkait adanya “gerakan tutup pabrik” tersebut –sebagai wujud tidak mau memenuhi isi Keputusan Bersama 23 Desember 2024-, pakar hukum tata negara, Dr. Wendy Melfa, menyatakan bila kesepakatan yang dibuat tentang harga singkong Rp 1.400 per-Kg dengan rafaksi 15% dipahami sebagai hukum, maka proses terbit dan pemberlakuan hukum itu ada “sesuatu” yang keliru.

Mengapa begitu? “Karena hukum itu harus mengandung tiga unsur, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Yang ketiga unsur tersebut harus dikompromikan dalam upaya pemberlakuan hukum atau kesepakatan yang dibuat. Itu sebabnya jangan gegabah, karena bila tidak cermat dalam mengkompromikan, maka keberlakuan hukum itu tidak akan efektif,” kata Dr. Wendy Melfa, Kamis (23/1/2025) malam.

Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL) ini menilai, salah satu penyebab adanya “gerakan tutup pabrik” dari pengusaha seolah-olah sebagai perlawanan atau pembangkangan ekstra yudisial dari pengusaha kepada pemerintah daerah (Gubernur dan DPRD) yang menginisiasi hadirnya Keputusan Bersama tersebut, yang pokoknya ingin menunjukkan kepada petani singkong agar hasil panennya bisa dibeli dengan harga yang “pantas”.

“Tapi apa boleh buat, justru dengan pengusaha menutup pabriknya, Keputusan Bersama itu tidak memberikan manfaat kepada petani. Alih-alih hasil panennya dibeli, justru singkongnya tidak dibeli karena pabriknya tutup,” tutur mantan Bupati Lampung Selatan ini.

Menurut Wendy Melfa, lahirnya “gerakan tutup pabrik” adalah dilema penegakan Keputusan Bersama yang mungkin dibuat tanpa mempertimbangkan unsur-unsur terkait. Dengan kondisi seperti ini, maka Pj Gubernur dan DPRD Lampung harus mengambil langkah sistemik dan jangka panjang. Untuk menghitung supply and demand, kebutuhan serta ketersediaan bahan baku tapioka, baik untuk kebutuhan dan ketersediaan lokal maupun nasional.

“Termasuk mengevaluasi secara holistik kebijakan impor, perizinan, penggunaan lahan, ketersediaan pupuk, dan lain-lain. Pun merencanakan program hilirisasi dan menggandeng investor agar bisa menampung dan menyimpan singkong untuk kebutuhan tapioka dan turunannya,” imbuhnya.

Menurut Wendy, dengan langkah-langkah konkrit seperti itu dalam jangka panjang, bisa dijadikan “bargaining” posisi politik pemerintah daerah dengan pengusaha atau pabrikan tapioka yang menampung singkong petani.

“Tidak boleh negara –dalam hal ini Pj Gubernur dan DPRD Lampung sebagai representasi unsur negara di daerah- ‘kalah’ dengan pengusaha atau pabrikan. Inilah arti pentingnya menempatkan kesepakatan sebagai hukum yang tidak hanya hukum dalam kesepakatan tetapi juga hukum yang bisa dilaksanakan,” urainya lagi.

Sebelumnya diberitakan, “gerakan tutup pabrik” ini diawali dengan sikap PT Teguh Wibawa Bhakti Persada. Melalui pengumuman tanpa nomor surat yang ditandatangani Alimin selaku general manager, tertanggal 22 Januari 2025, diuraikan: Diberitahukan kepada seluruh agen/sopir/petani singkong dan pihak-pihak terkait lainnya bahwa hari Kamis, 23 Januari 2025, pabrik tutup tidak beli singkong sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Demikian surat pengumuman ini disampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih atas kerjasamanya.

Menurut beberapa sumber, “gerakan tutup pabrik” ini akan terus terjadi. Hal ini sebagai dampak dari di-publishnya temuan KPPU Kantor Wilayah II bahwa terdapat 4 perusahaan produsen tapioka yang punya pabrik pengolahan di Lampung telah melakukan impor tepung dari Vietnam dan Thailand sebanyak 59.050 ton senilai USD 32,2 juta atau Rp 511,4 miliar sepanjang tahun 2024, dimana satu kelompok mendominasi jumlah impor hingga 80% atau 47.200 ton dengan nilai USD 25 juta bila dirupiahkan mencapai angka 407,4 miliar.

Serta langkah Pj Gubernur Samsudin yang menyurati pemerintah pusat agar membatasi pemberian izin impor tepung, juga penegasannya bahwa perusahaan di Lampung dilarang melakukan impor.

“Adanya ‘gerakan tutup pabrik’ itu sebenarnya hanya untuk memberi ‘warning’ saja bahwa pengusaha tapioka lebih kuat dibanding Pemprov Lampung. Praktik ‘pembangkangan’ dengan pola ini akan terus dilakukan sampai pemprov mau menutup mata atas kegiatan bisnis para taipan Lampung selama puluhan tahun ini. Mereka beranggapan, toh impor dapat izin resmi dan pakai uang sendiri, kenapa mesti dibatasi dan dilarang,” kata sebuah sumber seraya menambahkan, kini banyak petani singkong yang berbalik menyalahkan Pemprov dan DPRD Lampung. (fjr)

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.