BANDAR LAMPUNG – Dugaan kasus perundungan disertai kekerasan yang melibatkan siswa ‘SMA Global Madani’ terus menuai perhatian. Peristiwa yang terjadi pada 5 Agustus 2025 ini telah dilaporkan secara resmi ke Polsek Kedaton dengan nomor laporan STPLP/B/668/VIII/2025/SPKT/POLSEK KEDATON/POLRESTA BANDAR LAMPUNG/POLDA LAMPUNG oleh keluarga korban berinisial MS.
Menanggapi pemberitaan yang beredar, pihak Yayasan Pendidikan Global Madani melalui Ketua Yayasan, Prof. Dr. Ir. Abdul Kadir Salam, MSc., mengeluarkan klarifikasi resmi. Dalam pernyataan yang diterima redaksi, pihak yayasan menjelaskan bahwa insiden tersebut merupakan kesalahpahaman antara dua siswa, yakni MS dan AA, yang telah diselesaikan secara internal pada hari kejadian.
Berikut beberapa poin klarifikasi dari pihak sekolah:
1. Klarifikasi Internal: Pada 5 Agustus 2025, kedua siswa telah dipanggil untuk klarifikasi dan sepakat saling memaafkan, sebagaimana tercatat dalam Berita Acara Pemanggilan.
2. Teguran dan Sanksi: Siswa AA diberikan teguran tertulis dan sanksi berupa pemotongan poin dalam sistem Excel Appreciation, sesuai dengan Code of Conduct yang berlaku di SMA Global Madani.
3. Upaya Mediasi: Sekolah mengundang kedua orang tua siswa untuk mediasi lanjutan pada 9 Agustus 2025. Namun, orang tua MS menolak untuk bertemu dengan orang tua AA.
4. Koordinasi dengan Kepolisian: Sekolah telah memenuhi panggilan dari Polsek Kedaton pada 27 Agustus 2025 untuk memberikan klarifikasi dan diminta memfasilitasi mediasi. Namun, upaya tersebut kembali ditolak oleh orang tua korban.
5. Komitmen Sekolah: Pihak sekolah menegaskan bahwa mereka terus berupaya menyelesaikan permasalahan secara edukatif dan konstruktif.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh orang tua korban, RH, yang menyatakan bahwa klarifikasi dari pihak sekolah terkesan tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta yang dialami oleh anaknya.
“Surat sanggahan dari pihak sekolah seolah-olah menunjukkan bahwa mereka telah maksimal memediasi, padahal kenyataannya kami memang menolak mediasi karena ini bukan kejadian pertama,” ujar orang tua korban RH
RH menjelaskan bahwa sebelumnya anaknya juga pernah menjadi korban kekerasan dari siswa lain di sekolah yang sama. Dalam insiden terdahulu, MS mengalami luka di lengan akibat terkena cutter dan harus menerima tujuh jahitan, yang disebut terjadi karena bercanda.
Karena keinginan untuk menjaga proses belajar anak dan rasa kasihan terhadap pelaku yang masih teman sekelas,setelah dilakukan mediasi oleh pihak sekolah sehingganya pihak keluarga saat itu bersedia untuk berdamai tanpa tuntutan. Namun, menurut RH, respon sekolah setelah kejadian tidak mencerminkan perlindungan terhadap korban.
Terkait insiden terbaru, RH menjelaskan bahwa MS kembali menjadi korban kekerasan fisik oleh kakak kelasnya. Tindakan yang dilakukan menurutnya sudah tergolong serius.
“Perut ditonjok, paha kiri ditendang, dan pipi sebelah kiri ditampar. Ini sudah bukan lagi bercandaan anak-anak. Ini tindakan kekerasan seperti orang dewasa,” tegasnya yang membuat MS menjadi sakit secara fisik dan trauma.
Akibat kejadian kedua ini, pihak keluarga meminta agar pelaku dikeluarkan dari sekolah, namun permintaan tersebut tidak dikabulkan. Sekolah hanya memberikan sanksi berupa “Sudden Death”, yakni pelaku akan dikeluarkan jika mengulangi pelanggaran tanpa ada konfirmasi awal dengan pihak keluarga korban sebelum rencana diadakan mediasi.
“Kami sangat kecewa karena anak kami yang menjadi korban malah terkesan tidak mendapat perlindungan dan pembelaan. Kami anggap sebaliknya sekolah melindungi pelaku dengan memberikan sangsi yang ringan,” ungkap RH kecewa.
Akhirnya, pihak keluarga memutuskan untuk mengeluarkan anak mereka dari ‘SMA Global Madani’ karena sudah tidak nyaman serta kecewa dan melanjutkan proses hukum dengan melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.
“Kami lihat rilis yang dikeluarkan pihak sekolah terkesan cuci tangan dari masalah yang dialami anak kami dengan hanya ingin melakukan mediasi tanpa mengambil tindakan tegas,” pungkasnya.
Kasus ini kini dalam penanganan Polsek Kedaton, sementara pihak keluarga korban berharap agar keadilan bisa ditegakkan dan perlindungan terhadap siswa benar-benar menjadi prioritas utama di lingkungan pendidikan. (nil)