Oleh: Ahmad Novriwan | Ketua JMSI Lampung
APA yang dibunyikan dalam surat terbuka saudaraku, Juwendra, sama sekali tidak salah. Namun izinkan saya menambahi, sebab Bandarlampung adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut asas permusyawaratan sebagaimana tercermin dalam sila keempat Pancasila.
Dalam asas itu, pengelolaan manajemen pemerintahan menjadi mandat bersama antara Wali Kota dan DPRD. Mandat tersebut sudah kita berikan melalui proses demokrasi. Pertanyaannya, benarkah mandat itu sudah dijalankan sebagaimana mestinya? Dan lebih tajam lagi: ke manakah DPRD Kota Bandarlampung selama ini?
Saya amat memahami bahwa Wali Kota sebagai eksekutor pembangunan sekaligus pengguna APBD tentu memiliki strategi dalam menjawab tantangan kota. Ia boleh saja melakukan “jig-jag” anggaran untuk berbagai kebutuhan, sejauh orientasinya demi kepentingan umat dan tidak melanggar undang-undang. Itu sah-sah saja.
Tetapi, pengelolaan anggaran daerah tidak bisa dilepaskan begitu saja dari fungsi kontrol DPRD. Di sinilah letak persoalan. Apakah para wakil rakyat kita sekadar menikmati fasilitas negara yang dijamin undang-undang? Atau memilih “wait and see” sembari menunggu momentum Pemilu, baru kemudian bekerja?
Literatur hukum tata negara dengan jelas menyebut, DPRD memiliki tiga tugas utama. Pertama, fungsi legislasi: membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah. Kedua, fungsi anggaran: membahas dan menyetujui APBD. Ketiga, fungsi pengawasan: memastikan Perda dan APBD dilaksanakan dengan benar.
Nah, pertanyaannya:
Sudahkah DPRD Kota Bandarlampung serius melaksanakan fungsi legislasi?
Sudahkah DPRD benar-benar menjalankan fungsi anggaran, bukan sekadar “setuju tanpa kaji”?
Dan, apakah DPRD konsisten melaksanakan fungsi pengawasan terhadap jalannya APBD?
Kalau semua fungsi itu dijalankan dengan baik, maka ketika Wali Kota kebablasan dalam penggunaan anggaran daerah, DPRD punya hak dan kewajiban untuk “meniup peluit”. Bahkan, jika pelanggaran dianggap fatal, opsi impeachment bisa diambil sebagai jalan konstitusional.
Kalau DPRD diam, jangan salahkan kalau Bunda Eva dianggap kebablasan. Sebab posisi Wali Kota dan DPRD adalah mitra sejajar sekaligus pengelola pembangunan di Bandarlampung.
Saya teringat contoh dari beberapa daerah. Di Tangerang Selatan, misalnya, APBD yang mencapai lebih dari Rp2 triliun ternyata hanya kembali ke masyarakat sekitar Rp750 miliar. Sisanya habis untuk rapat, souvenir, makan-minum, serta perjalanan dinas pejabat. Ini sungguh keterlaluan. Jangan sampai pola serupa terulang di Bandarlampung.
Maka, sebelum menuding Bunda Eva seorang diri, kita perlu bercermin. Jangan salahkan “ibu yang mengandung”, sementara “bapak” yang seharusnya mengawasii justru absen dari tanggung jawab.
Karena itu, saya menegaskan: persoalan tata kelola anggaran dan pembangunan kota bukan hanya tanggung jawab Bunda Eva, tapi juga DPRD yng seharusnya mewakili suara rakyat. Jika DPRD lalai, maka sejatinya rakyat kehilangan mata dan telinga dalam pengawasan pemerintahan.Tabikpun. (*)