BANDAR LAMPUNG – Rektor UIN Raden Intan Lampung, Prof. H. Wan Jamaluddin Z., M.Ag., Ph.D., menegaskan bahwa pesantren dan para santri merupakan kekuatan utama yang menjaga keberlanjutan peradaban Islam sekaligus fondasi kemajuan bangsa.
Hal itu disampaikannya dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pesantren yang digelar di Ballroom UIN RIL, Sabtu (15/11/2025), sebagai bagian dari syukur atas lahirnya Direktorat Jenderal Pesantren Kementerian Agama RI.
Rektor mengawali sambutannya dengan menyampaikan terima kasih kepada Dirjen Pendis yang telah mempercayakan UIN RIL menjadi tuan rumah penyelenggaraan halaqah. Ia menyebut kehadiran seluruh peserta sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam merawat tradisi pesantren, memperkuat kelembagaan, dan menjamin keberlanjutan nilai-nilai Islam yang ramah, inklusif, dan berkeadaban.
“Halaqah ini adalah momentum yang sangat bersejarah. Tidak setiap generasi diberi kesempatan menyaksikan fase penting seperti lahirnya Ditjen Pesantren,” ujarnya.
Rektor menyampaikan bahwa hampir seluruh pimpinan UIN RIL merupakan alumni pesantren, mulai dari rektor, wakil rektor, dekan, hingga kepala biro. Menurutnya, hal itu menjadi kekuatan yang membawa kampus berkembang pesat dan meraih berbagai penghargaan.
“Maka wajar, di tangan para santri yang kini mengemban amanah di perguruan tinggi, kampus ini bertabur prestasi, menjadi kampus paling hijau, paling lestari, dan berkelanjutan. Semua didesain, dipikir, ditulis, dan dipertahankan oleh tangan-tangan santri yang kini menjadi profesor, doktor, magister, dan seterusnya,” ungkapnya.
Pada kesempatan tersebut, Guru Besar Bidang Sejarah Peradaban Islam itu menguraikan bagaimana pesantren telah berulang kali membuktikan diri sebagai institusi paling tahan banting dalam sejarah Nusantara. Ia mengutip pandangan orientalis Eropa yang heran melihat Islam tetap berdiri kokoh setelah kejatuhan Baghdad pada tahun 1258 M.
“Banyak yang mengira Islam habis dan punah seiring runtuhnya peradaban Abbasiyah dan Umayyah. Namun justru muncul kekuatan baru, wajah Islam dalam bentuk kekuatan kultural melalui lembaga pendidikan keagamaan dan gerakan tarekat tasawuf atau sufisme,” jelasnya.
Rektor menyebut kutipan buku The History of Islamic Civilization yang menjelaskan bahwa meski kekuasaan Islam runtuh, kekuatannya lahir kembali melalui lembaga-lembaga pendidikan yang otentik, termasuk pesantren, surau, dan majelis-majelis ulama.
Prof. Wan Jamaluddin kemudian memaparkan bagaimana abad ke-13 melahirkan pusat-pusat peradaban Islam di berbagai wilayah, termasuk Nusantara, melalui jaringan para syekh dan guru tarekat. Ia menyebut Tarekat Sammaniyah di Palembang dan Lampung, Naqsyabandiyah di Tanah Jawa, Syadziliyah, hingga Watiah di Kalimantan dan Sulawesi.
Semua gerakan itu, menurutnya, berbasis pada pendidikan pesantren yang bernuansa sufisme, sekaligus menjadi kunci kekuatan yang melahirkan berbagai perlawanan besar dalam sejarah.
“Inilah jawabannya kenapa ada Perang Diponegoro yang mengguncang dunia. Perlawanan itu lahir dari basis pesantren dan kekuatan tarekat,” tegasnya.
Alumni Doktoral Rusia ini menegaskan bahwa Lampung adalah salah satu wilayah yang memiliki sejarah kuat dalam perjuangan melalui pesantren. Ia menyebut peristiwa Agresi Militer Belanda 1947, saat bumi Lampung berhasil dipertahankan oleh para kiai dan santri.
Ia menceritakan perjuangan KH Ahmad Hanafiah dari Sukadana bersama Pasukan Golok yang menghadang Belanda di Muara Enim dan Baturaja agar tidak masuk ke Lampung. Pada agresi kedua tahun 1949, perjuangan dipimpin oleh almarhum KH Muhammad Ghalib di Pringsewu.
“Karena itu, berbicara Pesantren itu saya katakan ‘gue banget’. Bicara tentang pesantren jangan ragu-ragu ke Lampung. Lampung punya bukti sejarah tentang peran pesantren yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia,” katanya.
Ia kembali memaparkan, pesantren memiliki dua kutub besar yaitu tradisi dan transformasi. Menurutnya, pesantren adalah jembatan yang mampu menghubungkan keduanya. Namun jembatan itu harus diperkuat, diperluas, dan diperbaharui agar tetap kokoh menghadapi derasnya arus perubahan global.
“Kita bisa menjadi profesor, doktor, dan pemimpin karena tradisi kuat itu. Namun perubahan begitu cepat sehingga transformasi menjadi keniscayaan,” ujarnya.
Karena itu, kata alumni Pondok Pesantren Darussalam Lampung ini, tema penguatan kelembagaan dianggapnya sangat relevan untuk memastikan pesantren tetap menjadi pusat peradaban ilmu yang otoritatif dan berpengaruh. Ia menegaskan bahwa hubungan pesantren dan kampus bukanlah hubungan subordinatif, melainkan simbiosis yang saling membutuhkan.
“Kampus membutuhkan kebijaksanaan, kearifan lokal, dan jaringan ulama pesantren. Pesantren membutuhkan metodologi riset dan pendekatan ilmiah dari perguruan tinggi,” jelasnya.
Prof. Wan menjelaskan bahwa penguatan kelembagaan tidak bisa parsial atau jangka pendek.
Ia menegaskan perlunya desain besar yang menggabungkan kekuatan tradisi dan inovasi, sebagaimana dilakukan UIN RIL sejak transformasi dari IAIN menjadi UIN pada 2017.
UIN RIL kini memiliki salah satu jumlah guru besar terbanyak di PTKIN se-Sumatera. Digitalisasi dan peningkatan SDM, menurutnya, adalah kebutuhan yang juga harus diadopsi pesantren.
Ia juga mencontohkan kerja sama UIN RIL dengan Pemkot Bandar Lampung yang menghasilkan pembangunan klinik kampus, yang sedang disiapkan menjadi rumah sakit lima lantai, serta hibah tanah 50 hektare dari Pemerintah Provinsi Lampung di Kota Baru.
“Pesantren pun tidak boleh menutup diri. Harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Kita berharap hal serupa juga terjadi di dunia pesantren di tanah Lampung,” ujarnya.
Rektor menekankan bahwa pesantren memiliki warisan kitab turats yang sangat kaya, namun relevansi kitab kuning harus dikuatkan melalui metode pembacaan yang tepat.
“Santri harus tidak hanya menghafal dan memahami teks, tetapi juga mengontekstualisasikan dengan realitas kekinian. Perguruan tinggi bisa hadir menawarkan metode kajian baru,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa banyak mahasiswa S1 maupun S2 dan S3 UIN RIL berasal dari pesantren. Menurutnya, ini harus menjadi perhatian bersama agar makin banyak santri dapat melanjutkan studi dan menguatkan kapasitas diri.
Dengan hadirnya Direktorat Jenderal Pesantren, ia berharap kolaborasi antara pesantren dengan stakeholder lainnya termasuk perguruan tinggi semakin meningkat. (*)

















