BANDAR LAMPUNG – Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Pusat, Dr. Teguh Santosa, M.A., mengajak seluruh anggota JMSI untuk tampil powerful, kritis, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik, khususnya di tengah isu-isu krusial seperti bencana alam yang melanda Pulau Sumatera.
Ajakan tersebut disampaikan Teguh saat memberikan sambutan dalam Musyawarah Daerah (Musda) II JMSI Provinsi Lampung yang digelar di Azana Boutique Hotel, Bandar Lampung, Minggu (21/12/2025).
Menurut Teguh, kekuatan media siber tidak hanya terletak pada kecepatan pemberitaan, tetapi juga pada ketajaman analisis, keberimbangan sudut pandang, serta kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik. Hal itu menjadi semakin penting ketika media memberitakan peristiwa bencana yang kerap memicu spekulasi dan saling menyalahkan.
Sebagai contoh, Teguh menyinggung bencana banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada penghujung 2025.
“Coba kita mau menyalahkan siapa kalau kita melihat bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sekarang? Enggak bisa kita tidak menyalahkan diri kita juga,” ujar Teguh yang juga pendiri Kantor Berita RMOL.
Ia menilai, bencana tersebut tidak bisa dilihat sebagai kejadian tunggal atau kesalahan satu pihak semata. Menurutnya, banjir merupakan akumulasi dari proses panjang, mulai dari tata kelola tambang, pembalakan hutan, hingga pembiaran kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.
“Untuk jangka pendek gampang menuding siapa yang salah, yang nebang pohon. Tapi kalau kita perhatikan, ini proses panjang, tidak terjadi lima bulan, setahun, atau lima tahun. Ada pembiaran-pembiaran yang sistemik, dan bisa jadi kita juga terlibat di dalamnya,” tegasnya.
Teguh bahkan mengingatkan bahwa insan pers perlu melakukan refleksi kritis terhadap peran media sendiri dalam relasi dengan kekuasaan.
“Barangkali tanpa sadar, atau dengan sadar, kita menjadi bagian subordinat dari pengambil kebijakan yang tidak berorientasi pada keberlangsungan alam,” katanya.
Ia juga menyinggung berbagai data yang menunjukkan penyusutan kawasan hutan di Sumatera, termasuk di Lampung, sebagaimana hasil penelitian lembaga independen seperti Greenpeace.
“Peta hutan Sumatera yang sering diperlihatkan itu shoḥīḥ. Ruang hijau kita sudah berkurang secara signifikan,” pungkas Teguh.
Seperti diketahui, banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba. Banyak kalangan menilai bencana ini merupakan akumulasi krisis ekologis, lemahnya tata kelola ruang, serta kebijakan kebencanaan yang masih lebih bersifat reaktif ketimbang preventif.
Ribuan rumah warga terendam, ratusan fasilitas publik rusak, lahan pertanian gagal panen, dan ekosistem sungai serta daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan serius. Pemerintah telah menetapkan status tanggap darurat dan menyalurkan bantuan, namun hingga kini bencana tersebut belum ditetapkan sebagai bencana nasional. (jun)

















