BANDAR LAMPUNG – Setelah beberapa perguruan tinggi bersuara lantang di berbagai daerah, hari ini Akademisi Lampung dari 7 perguruan tinggi di Lampung ikut menyerukan penegakkan keadilan dan demokrasi dalam kontestasi Pemilu pada 14 Februari 2024. Terutama, mengingatkan presiden, menteri, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, ASN, kepala desa dan penyelenggara negara lainnya untuk benar-benar netral dalam Pemilu.
Guru besar dan dosen dari tujuh kampus tersebut adalah Universitas Lampung (Unila), Universitas Tulang Bawang (UTB), Universitas Bandar Lampung (UBL), Universitas Saburai, Universitas Malahayati, Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), dan Universitas Mitra Indonesia (UMITRA).
Seruan akademisi Lampung untuk keadilan dan demokrasi ini dilakukan oleh 41 dosen di Fakultas Hukum Unila, Rabu (7/2/2024). Juga diikuti oleh aktivisi hukum, jurnalis dan mahasiswa Lampung.
Sinyal kedua, kata Ari, terjadi pelanggaran turunan, penerimaan pencalonan tanpa menyesuaikan PKPU terkait pendaftaran capres-cawapres.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan Ketua Komisi Pemilihan Umum atau Ketua KPU Hasyim Asy’ari melanggar etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Capres dan Cawapres.
“Benar kami adalah partisan, kami partisan kebenaran, bukan kepentingan politik sekelompok orang. Monggo kami di cap apapun. Kami adalah partisan untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan untuk partai dan kelompok politik,” tegasnya.
Ari menyatakan, sebagai akademisi yang dibayar oleh negara, mereka harus ikut bertanggungjawab ketika sendi-sendi bangsa terancam.
“Monggo, perguruan tinggi dianggap noise, tapi bagi kami ini voice. Kalaupun hari ini tidak ada pertemuan akademisi di sini, saya akan bacakan pernyataan ini sendirian di bunderan Unila,” kata Ari.
Dalam seruan akademisi Lampung untuk keadilan dan demokrasi yang dibacakan Ari Darmastuti, dinyatakan bahwa situasi dan kondisi terakhir menjelang Pemilu telah menunjukkan gejala pudarnya keteladanan dan perilaku politik yang tidak memenuhi kaidah etika, sikap demokratis dan rasa keadilan. Oleh karena itu, kami menyampaikan hal-hal berikut:
1. Keprihatinan atas pelanggaran etika yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Sebuah sikap yang tidak berdiri di atas kepentingan masyarakat dan bangsa;
2. Pelanggaran etika tidak hanya mencoreng citra penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, tetapi juga merugikan dan bahkan meruntuhkan hak fundamental warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil);
3. Pernyataan, sikap dan tindakan yang merusak prinsip demokrasi dan mengancam pondasi penyelenggaraan negara akan menimbulkan ketidakpercayaan mendalam.
4. Mengingatkan kepada presiden, menteri, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, penyelenggara negara lainnya, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa menjaga sikap benar-benar netral dalam pemilihan umum untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi di Indonesia. (*)