BANDAR LAMPUNG – Terungkapnya dosen berstatus ASN di Fakultas Hukum (FH) Unila yang berkegiatan sebagai pengacara dan atau kuasa hukum, mendapat sentilan serius tapi ringan dari Ketua Pusat Bantuan Hukum Ikatan Keluarga Alumni (PBH IKA) FH Unila, H. Bey Sujarwo, SH, MH.
Praktisi hukum senior yang merupakan alumni FH Unila dan juga Ketua Peradi Bandar Lampung ini menyesalkan adanya ASN di FH Unila yang beracara.
Lalu apa pandangannya soal ini? “Seyogyanya ASN tersebut tidak melakukan seolah-olah sebagai advokat seperti yang diamanahkan UU Advokat,” kata Mas Jarwo, panggilan akrab Ketua PBH IKA Unila itu, Minggu (29/12/2024) pagi melalui WhatsApp.
Saat diungkapkan bahwa ada kesan dua dosen FH Unila yang diketahui berpraktik bak advokat tidak merasa bersalah atau melanggar UU ASN, Mas Jarwo berucap ringan: “Ya inilah Indonesia, negeri kita yang gagap. Maka satu kata tanpa definisi yang jelas dimasukkan dalam UU, akan ditafsirkan secara sewenang-wenang.
“Seperti diketahui, setidaknya ada dua dosen FH Unila yang diketahui beracara. Pertama adalah DPP. Ia menjadi kuasa hukum warga Trisinar, Trimulyo, dan Mekar Mulyo, Lampung Timur, dalam penerimaan uang ganti rugi atas lahan dan tanaman di Register 37 Way Kibang.
Dari kegiatan “ngamennya” ini ditengarai DPP telah menangguk dana Rp 3,4 miliar sebagai fee 15% atas besaran uang ganti rugi yang diterima warga dari proyek Bendungan Margatiga.
Dan karena “pekerjaan sampingan” tersebut, saat ini DPP menghadapi dua laporan serius, yaitu dugaan penipuan dan pelanggaran terhadap UU Advokat. Yang ditangani oleh Polsek Sekampung dan Polres Lampung Timur.
Kedua adalah Dr. Satriya Prayoga, SH, MH. Dosen FH Unila kelahiran 23 Juni 1982 ini menjadi PH Cabup Pringsewu Adi Erlansyah saat menggugat KPU Pringsewu ke PT-TUN di Palembang, dan kabarnya juga di MK.
Dr. Yoga -panggilan beken dosen berkeahlian hukum administrasi negara (HAN)- ini tidak menampik bila dirinya memang beracara.
Apakah dengan kegiatan itu tidak
melanggar UU ASN? “Saya kan menjalankan tri dharma pendidikan. Selama tidak ada larangan, berarti boleh,” tegas Dr. Yoga sambil menambahkan, dirinya telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus Ujian Profesi Advokat (UPA).
Dikatakan oleh alumnus FH Unila strata 1 dan 2 dengan gelar Doktor dari Universitas Sriwijaya, Palembang, tahun 2023 itu, bahwa hukum acara sengketa pilkada benar-benar berbeda dengan hukum acara di pengadilan lainnya.
“Makanya diperlukan bagi masyarakat memahaminya dulu, seperti saya akademisi banyak-banyak mendalami dan memperbaikinya. Nanti kalau sudah sempurna sistem acaranya, baru dipublikasi,” tuturnya lagi melalui pesan WhatsApp, Sabtu (28/12/2024) kemarin.Guna meyakinkan bahwa langkahnya beracara tersebut tidak “disalahkan”, Dr. Yoga menguraikan pasal 8 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan dan Sengketa Pelanggaran Administrasi Pemilihan, yang ditetapkan pada 28 Oktober 2016.
Pasal 8 ayat (3) tersebut menyatakan: Selain didampingi atau diwakili oleh advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termohon dapat didampingi atau diwakili: a. jaksa pengacara negara, atau; b. pihak yang memiliki wewenang untuk mewakili atau mendampingi termohon dalam penyelesaian sengketa pemilihan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; berdasarkan surat kuasa khusus.
Ia juga mengutip pernyataan Hakim Agung MK, Suhartoyo, bahwa kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik hukum acara MK.
Penegasan Dr. Satriya Prayoga, SH, MH, bahwa langkahnya beracara bukanlah sebuah pelanggaran terhadap UU ASN, sayangnya belum mendapat tanggapan dari Dekan FH Unila, Dr. M. Fakih, SH, MS. Meski permohonan tanggapan telah disampaikan sejak Sabtu (28/12/2024) pagi kemarin.
Namun sebelumnya, terkait “bermainnya” DPP selaku kuasa hukum dalam urusan ganti rugi pembangunan Bendungan Margatiga, Dr. M. Fakih, menyatakan: “Fakultas tidak pernah mengeluarkan izin kepada dosen siapapun untuk bertindak sebagai pengacara atau kuasa hukum, karena memang dilarang oleh undang-undang, sebabnya ya status dosen sebagai ASN.”
Adanya dosen FH Unila yang beracara ini, juga mendapat perhatian dari pakar hukum tata negara dan pemerintahan, Dr. Wendy Melfa.
“Tidak boleh seseorang berstatus ASN berpraktik sebagai kuasa hukum secara umum begitu, terkecuali melalui izin pimpinan fakultas. Itu pun hanya untuk menangani case tertentu,” kata Wendy Melfa, Kamis (26/12/2024) lalu.
Bagi Wendy Melfa -yang juga jebolan FH Unila-, adanya persoalan ini merupakan momentum tepat bagi pimpinan fakultas dan universitas untuk menertibkan dosen berstatus ASN yang ditengarai masih melakukan praktik-praktik penanganan case sebagaimana layaknya advokat umum beracara tanpa izin pimpinan. (fjr)