BANDAR LAMPUNG – Dua narasumber hadir dalam diskusi panel Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Raden Intan Lampung. Keduanya membahas secara mendalam arah transformasi pesantren, penguatan tradisi keilmuan, hingga strategi memajukan tiga fungsi utama pesantren di era modern. Diskusi dipandu oleh akademisi UIN Raden Intan Lampung, Dr. Wahyu Iryana, M.Ag, Sabtu (15/11/2025).
Mereka adalah KH. Shodiqul Amin, Rois Syuriah PWNU Lampung sekaligus Pimpinan Ponpes Darul Ishlah Simpang 5 Tulang Bawang, dan KH. Ihya Ulumuddin, Wakil Rois Syuriah PWNU Lampung sekaligus Pimpinan Ponpes Madarijul Ulum Bandar Lampung.
Narasumber pertama, KH. Shodiqul Amin, memaparkan materi bertema Transformasi Keilmuan Pesantren: Penguatan Kitab Kuning pada Direktorat Jenderal Pesantren. Ia menegaskan bahwa seluruh perubahan yang terjadi di pesantren tidak boleh melepaskan diri dari akar utama tradisi keilmuan pesantren, yakni kitab kuning yang telah mengakar sejak ratusan tahun lalu.
Mengawali paparannya, KH. Shodiqul Amin menegaskan bahwa akar keilmuan pesantren bersumber dari tradisi kitab kuning yang telah mengakar sejak ratusan tahun lalu. Ia menyebut bahwa pesantren sejak dahulu dibangun di atas prinsip al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah yaitu memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
“Akar filosofi pesantren itu jelas, yaitu menjaga tradisi lama yang baik. Sistem sorogan dan bandongan adalah warisan luhur yang tidak boleh hilang. Di situlah jiwa pesantren dibangun, dari interaksi langsung antara santri dan kiai, satu per satu menghadap, membaca, disimak, dan dibimbing,” ujarnya.
Namun demikian, ia juga menegaskan bahwa pesantren masa kini telah mengembangkan sistem baru tanpa meninggalkan ruh tradisi. Ia mencontohkan variasi satuan pendidikan di pesantren, mulai dari Madrasah, MTs, MA, hingga perguruan tinggi seperti Ma’had Aly maupun sekolah tinggi.
“Setiap pesantren punya model sendiri, tapi tujuannya sama. Dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah kitab kuning. Jangan sampai pesantren berdiri, tapi kiainya tidak bisa membaca kitab kuning. Ini bahaya, na’udzubillah” tegasnya.
Dalam pandangannya, pesantren harus kembali menguatkan kualitas pembelajaran kitab kuning karena itulah identitas pesantren. Ia juga mengingatkan bahwa pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi benteng peradaban yang sejak dahulu menjadi penjaga keutuhan bangsa.
Sementara itu, KH. Ihya Ulumuddin dalam paparannya menyoroti urgensi penguatan Tri Fungsi Pesantren yaitu pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Ia menegaskan bahwa perkembangan jumlah pesantren dan santri harus diimbangi dengan peningkatan kualitas kelembagaannya.
“Pertumbuhan pesantren harus dibarengi penguatan tiga fungsi dasarnya. Bukan hanya soal jumlah santri, tapi bagaimana kualitas pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat berjalan seimbang,” ujarnya.
Ia menguraikan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 menegaskan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mencetak individu unggul, moderat, dan cinta tanah air. Karena itu, kurikulum pesantren harus adaptif tanpa menghilangkan karakter khas pesantren.
Ia juga memaparkan berbagai tantangan internal pesantren seperti keterbatasan sumber daya manusia, manajemen kelembagaan, serta adaptasi teknologi. Tantangan eksternal seperti globalisasi, budaya populer, hingga stigma sosial turut menjadi perhatian.
“Hari ini santri harus bisa bahasa Inggris, harus melek digital. Dakwah pun sudah berubah. Media sosial itu bukan pilihan, itu keharusan. Penguatan jejaring antar-pesantren juga penting agar dakwah lebih efektif,” tambahnya.
Pada aspek pemberdayaan masyarakat, KH. Ihya menekankan pentingnya penguatan ekonomi pesantren melalui koperasi, UMKM, hingga lembaga keuangan syariah. Menurutnya, pesantren harus menjadi pusat pertumbuhan ekonomi umat.
Ia juga menegaskan bahwa kualitas santri dan persepsi masyarakat adalah faktor yang memperkuat keberlangsungan pesantren.
“Brosur terbaik pesantren itu bukan kertas cetakan, tapi alumni. Kalau alumninya berkualitas, masyarakat yang akan mempromosikan pesantren itu sendiri,” tutupnya. (An/NF)

















