HeadlineHukum & KriminalLampung Raya

Dr. Satria Prayoga Buka Suara Soal Dipanggil Pimpinan FH Unila

BANDAR LAMPUNG – Dr. Satria Prayoga, satu dari dua dosen berstatus ASN di Fakultas Hukum (FH) Unila, yang belakangan menjadi pembicaraan publik karena tampil sebagai penasihat hukum (PH) Cabup Pringsewu, Adi Erlansyah, saat menggugat KPU Pringsewu ke PT TUN Palembang dan MK, akhirnya buka-bukaan atas “pekerjaan sampingannya” yang berujung dirinya dipanggil pimpinannya.

Selasa (31/12/2024) siang kemarin, dosen berkeahlian hukum administrasi negara ini mengakui, telah dipanggil oleh pimpinan FH Unila.

Apa yang dibicarakan? “Saya dipanggil terhadap klarifikasi saya, yang ditunjuk sebagai ketua BKBH FH Unila, dengan adanya SK Dekan awal Januari 2024. Semenjak saya baru menyelesaikan studi S3 pada Desember 2023 lalu. Namun karena alasan sesuatu, saya mengundurkan diri secara tertulis,” kata Dr. Satria Prayoga melalui WhatsApp, tanpa menjelaskan kapan dan siapa petinggi FH Unila yang “memeriksanya”.

Lalu apa arahan pimpinan FH terkait hal ini? “Pimpinan mengingatkan bahwa harus loyal terhadap Fakultas,” ucapnya.

Selain hal tersebut, Dr. Yoga -begitu ia biasa disapa- menjelaskan, ia juga mengklarifikasi soal dirinya beracara dengan menjadi kuasa hukum Adi Erlansyah mengajukan gugatan di PT TUN Palembang dan mengajukan Permohonan Ke MK.

“Saat itu dipertanyakan; itu atas nama sendiri atau FH Unila. Saya jawab; atas nama pribadi. Saya jelaskan bahwa dalam mendampingi untuk menggugat di PT TUN dan MK, boleh selain advokat dan tidak ada larangan bagi ASN, sengketa pilkada Lex specialis derogat legi generalis,” urainya.

Adakah penekanan pimpinan FH Unila terkait hal ini? “Cuma dipesankan, kedepan pimpinan harus tahu setiap kegiatan dosen-dosennya. Hanya sebatas itu saja,” jelasnya membeberkan inti dari pemanggilannya.
Menurut Satria Prayoga, tidak ada dosen -berstatus ASN di FH Unila- yang seolah advokat.

Mengapa demikian? “Karena semua dalam rangka pengabdian masyarakat dan pengaplikasian hasil penelitian. Semua dosen wajib melakukannya. Cuma kami yang dosen FH beririsan dengan orang-orang politik, sehingga ditunggangi dengan pikiran-pikiran mereka untuk memenuhi hasrat kepentingan mereka,” beber Dr. Yoga tanpa memperjelas siapa orang-orang politik yang menunggangi.

Ditambahkan, undang-undang satu dan lainnya dicampur-adukkan, permasalahan masing-masing dosen yang berbeda-beda dicampur-adukkan juga. Tanpa melihat tugas mulia dan kebebasan mimbar dari seorang dosen.

“Perjalanan saya dan dosen lainnya berbeda, namun dicampur-adukkan dalam pemberitaannya,” imbuhnya.

Setiap dosen di fakultas-fakultas lain, sambung Dr. Satria Prayoga, meneliti dan mengabdi ya biasa saja. Kalau Fakultas Hukum melaksanakan penelitian atau pengabdian, disebutnya jadi beracara.
“Seperti saya. Sebagai penanggungjawab mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) dan sedang menggagas mata kuliah Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, berusaha mengetahui segala proses jalannya pilkada dengan cara turun langsung, apakah salah. Disertasi saya, penelitian dan pengabdian saya dari tahun 2014 juga tentang pilkada. Nofelty (kebaruan) dari penelitian saya juga tentang formulasi yang ideal Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah,” ujarnya lagi.

Terang-terangan ia juga menilai keliru bila ditanyakan siapa lagi dosen FH yang beracara. Mengapa begitu? “Karena semua juga berhak turun langsung dalam penelitian dan pengabdian. Kalau ada yang bilang tidak perlu turun langsung, ya karena yang lain memang tidak dilibatkan dan tidak mau melibatkan diri dalam negara untuk merumuskan perbaikan aturan-aturan hukumnya (undang-undang). Saya terlibat dalam merumuskan Undang-

Undang Pilkada, kemudian mau atau adanya perbaikannya dimana, ya tidak akan tahu kalau tidak turun langsung di lapangan. Cuma saya jaga benar etikanya,” Dr. Satria membeberkan.

Menurut dia, seluruh dosen pada fakultas-fakultas lain juga turun langsung melakukan penelitian dan pengabdian. Tapi kalau di Fakultas Hukum, namanya menjadi beracara.

“Kita juga tahu batasan-batasan sampai sejauhmana yang dilarang dan diperbolehkan,” kata dia seraya menyampaikan harapan, dalam setiap pemberitaan harus netral, dijelaskan duduk permasalahannya, jangan dicampur-adukkan dengan kepentingan-kepentingan politik lainnya.

Diungkapkan juga: “Jangan pemberitaan itu digiring-giring untuk bahan justifikasi pemikiran masyarakat, tindakan-tindakan tersebut menjadi salah. Orangnya berbeda, persoalannya berbeda, tujuannya pun berbeda.”

Ditambahkan, harus selalu diingat, sumber hukum formil di negara kita ini ada kebiasaan, undang-undang, teraktat, yurisprudensi, dan doktrin.

“Kami para ahli mendapatkan posisi juga dalam mengutarakan doktrin-doktrin yang benar guna perbaikan negara,” tutup Dr. Satria Prayoga. (fjr)

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.