BANDAR LAMPUNG – Adanya dua oknum dosen berstatus ASN yang menjalankan kegiatan seolah advokat, tidak dinyana mendapat perhatian serius dari Guru Besar Ilmu Hukum FH Unila, Prof. Dr. Hamzah, SH, MH.
Saat dimintai pandangannya mengenai aksi “ngamen” dua dosen ASN -DPP, SH, MH, dan Dr. SP, SH, MH- itu Senin (30/12/2024) siang, sang Guru Besar pun tanpa ragu langsung “turun gunung”, memberikan tanggapannya.
Prof. Dr. Hamzah, SH, MH, yang dikenal sebagai pakar hukum perdata ini memulai pernyataannya dengan mengungkapkan, bahwa dahulu sebelum ada UU Nomor: 18 Tahun 2003 tentang Profesi Advokat, memang tidak ada syarat untuk bisa menjadi seseorang dan atau mewakili seseorang beracara di muka peradilan.
“Yang diminta adalah bahwa orang tersebut mengetahui dan menguasai hukum beracara. Masa itu, orang dimaksud disebut Pokrol Bambu. Tapi sejak ada UU Advokat yang mengatur syarat bahwa untuk berprofesi menjadi advokat harus Sarjana Hukum (SH), maka Pokrol Bambu dilarang,” tuturnya.
Bagaimana dengan ASN? “Dalam UU Advokat dinyatakan dalam salah satu syaratnya, dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Jadi, ASN tidak boleh berprofesi sebagai Advokat. Itu sudah jelas. Karenanya, organisasi advokat dapat mengenakan sanksi kepada ASN yang berprofesi sebagai advokat dengan mencabut izin tersebut,” lanjut Prof. Hamzah.
Diuraikan, adapun UU ASN menyatakan bahwa sanksi dapat diberikan oleh Atasan Yang Berhak Menghukum (ankum)-nya berupa sanksi administrasi, ringan, sampai sanksi berat.
Terkait hal ini, Prof. Hamzah mengakui, memang masih ada celah hukum/debatable akademisi hukum berargumentasi dengan azas lex specialis derogat legi generali, antara UU ASN, UU Advokat, dan UU Pilkada.
“Biarlah itu menjadi ranah tersendiri kaum akademisi untuk memperbincangkannya sebagai sebuah dinamika pemikiran,” ucapnya.
Bagaimana dengan alasan bahwa beracara seolah advokat adalah bagian dari tri dharma pendidikan? Prof. Hamzah menguraikan, memang dosen sebagai ASN punya tugas dan kewajiban menjalankan tri dharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian.
Dimasa lalu, tri dharma dalam bentuk pengabdian khusus dosen FH Unila biasanya dengan memberi penyuluhan hukum. Yang salah satunya di FH Unila adalah berdirinya BKBH (Badan/Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum).
Dijelaskan, unit BKBH ini berfungsi untuk memberi ruang bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan dan konsultasi hukum apabila sedang berperkara atau sengketa dalam hukum.
“Di BKBH inilah dosen memberikan atau menjalankan tri dharmanya. Apakah tugas ini dilaksanakan untuk memperoleh keuntungan? Tentu saja bukan itu tujuannya tri dharma ASN dosen FH Unila.
Karena fungsi tri dharma yang paling pokok adalah melakukan pencerahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang hukum,” urai Prof. Hamzah.
Lalu apa yang harus dilakukan pimpinan FH atas adanya dosen ASN yang “ngamen” seolah advokat itu? “Seharusnya pimpinan FH Unila sebagai Ankum dari dosen tersebut melayangkan surat panggilan secara wajar kepada yang bersangkutan. Selanjutnya melakukan pemeriksaan (BAP). Hasilnya dilaporkan ke Senat Fakultas atau Rektor untuk mendapatkan arahan atau petunjuk,” kata Prof. Hamzah yang menjabat sebagai Ketua Satuan Pengendalian Internal (SPI) Unila.
Ditegaskan, untuk mengurai masalah ini bukan Rektor yang memanggil dosen tersebut. Tapi Rektor menginstruksikan Dekan FH untuk memanggil dan memeriksa dosen yang dianggap menyalahi aturan sebagai PNS. Selanjutnya, hasil BAP-nya di tingkat Dekanat dilaporkan ke Rektor.
Atas adanya skandal dosen FH Unila berpraktik seolah advokat tersebut, Guru Besar Ilmu Hukum FH Unila ini menyampaikan bahwa sistem pengawasan melekat (waskat) perlu ditingkatkan lagi. Setidak-tidaknya tindakan preventif harus lebih dijalankan oleh pimpinan fakultas dan universitas melalui rapat-rapat koordinasi yang lebih intensif lagi.
Prof. Hamzah menegaskan, dirinya selaku Ketua SPI bila Rektor memberikan tugas untuk melakukan pembinaan dan atau instruksi lain atas peristiwa ini, maka SPI secara kelembagaan siap menjalankan tugas tersebut. (fjr)