Oleh : Gunawan Handoko
MASIH Ingat Supriyani, guru honorer SD Negeri 4 Baito Konawe Selatan, yang namanya sempat viral di seluruh Tanah Air. ia dituduh telah menganiaya muridnya, anak seorang anggota Polri. Atas dugaan penganiayaan tersebut, pihak orangtua melaporkan Supriyani ke penegak hukum dan Supriyani sempat ditahan, meski kemudian dibebaskan setelah permohonan penangguhan penahanannya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri setempat.
Kasus ini menjadi menarik bukan sekadar tentang benar dan salah, namun merupakan potret atau cerminan dari permasalahan lebih luas yang dihadapi para pendidik, khususnya tentang keadilan, perlindungan hukum, dan nilai-nilai kemanusiaan. Maka sangat wajar apabila masyarakat luas, termasuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendiknas), Profesor Abdul Mu’ti, memberi perhatian khusus terhadap kasus yang menimpa Supriyani.
Hampir semua meyakini bahwa apa yang dilakukan Supriyani terhadap muridnya bukan dilandasi kebencian, namun semata-mata dalam rangka untuk mendidik tentang moral dan kepribadian serta budi pekerti. Dan keyakinan tersebut terbukti di ruang pengadilan, dimana para hakim memutuskan bahwa Supriyani tidak bersalah. Keputusan hakim tersebut menjadi jembatan emas bagi Supriyani untuk bisa diangkat sebagai PPPK sesuai yang dijanjikan Mendiknas.
Apa yang dijanjikan Pak Menteri –sebenarnya-bukan hal yang luar biasa, mengingat perempuan tangguh ini telah mengabdikan dirinya sebagai guru honorer selama 16 tahun. Semua persyaratan untuk diangkat menjadi PPPK sudah terpenuhi, ditambah lagi bukan terpidana alias berkelakuan baik. Pendek kata tidak ada pihak yang merasa berkeberatan apabila Supriyani diangkat sebagai PPPK, semua menganggap hal yang wajar mengingat lamanya masa pengabdiannya. Maka semua menjadi terperanjat ketika mendengar berita bahwa Supriyani dinyatakan tidak lulus PPPK. Walau nilainya cukup tinggi, yakni 478 dari 670, tapi tidak cukup untuk lulus.
Sistem yang ada, seolah tidak peduli terhadap janji Mendiknas yang akan meluluskan Supriyani secara afirmatif. Apa yang dijanjikan Mendiknas tentu sudah terukur, bahwa dirinya sebagai Menteri punya hak atau kewenangan untuk itu. Tidak lulusnya Supriyani tentu berdampak psikologis bagi dirinya dan keluarga.
Perlu disadari, bahwa profesi guru, baik PNS maupun honorer, butuh ketenangan dalam melaksanakan tugas untuk mendidik. Pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi menjadi indikator penting untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Apabila satu dari ketiga aspek tersebut ada yang tertinggal, maka gagal pula cita-cita untuk meraih predikat bangsa yang bermutu. Dan kenyataannya, masih banyak guru honorer yang mendapat gaji sebesar 300 ribu rupiah per bulan, termasuk Supriyani.
Bicara masalah pendidikan bukanlah semata menekankan pada konteks ‘hasil’, namun lebih kepada sebuah perjalanan luar biasa yang selama ini kita sebut sebagai ‘proses’. Proses yang bernama pembiasaan, proses yang bernama pembelajaran, dan proses yang menyimpulkan pada sebuah tantangan besar. Perlu disadari bahwa tujuan pendidikan bukan sekadar cerdas dan pintar, tapi juga berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apa yang dilakukan Supriyani dan Supriyani yang lainnya, boleh jadi merupakan sebuah proses pembelajaran terhadap peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan berakhlak mulia serta berbudi pekerti yang luhur. Karena tujuan utama dari pendidikan bukan sekadar cerdas dan pintar. Maka dalam mensikapi guru yang ‘salah’ perlu langkah yang arif dan bijak, yakni menyelesaikannya dalam tingkat internal antara guru, kepala sekolah, dan orangtua siswa serta pihak Dinas Pendidikan. Aparat penegak hukum (APH) kiranya dapat memedomani Peraturan Pemerintah Nomor: 74 tahun 2008 tentang Perlindungan Guru dalam Menjalankan Tugasnya. Dalam pasal 39 ayat (1) ditegaskan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada dibawah kewenangannya.
Dalam ayat (2) disebutkan sanksi tersebut dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 40 ditegaskan, bahwa guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing. Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan kerja.
Dikuatkan dalam pasal 41 bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakukan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orangtua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain.
Terkait dengan perlindungan guru, Mendiknas dalam pidatonya menyambut Hari Guru Nasional 2024 mengaku telah memiliki tiga program prioritas untuk meningkatkan kualitas guru, termasuk berupaya menjamin keamanan para guru. Ada nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang didalamnya memuat kesepakatan agar masalah kekerasan dalam pendidikan diselesaikan secara damai dan kekeluargaan, sehingga guru tidak menjadi terpidana.
Sudah saatnya untuk kembali ’belajar’ menghargai guru, seiring dengan upaya yang dilakukan pemerintah dalam memberikan perhatian lebih kepada profesi guru, terutama faktor kesejahteraan. Pemerintah pusat dan daerah harus bersama-sama menjaga marwah pendidikan guna mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di masa dulu, posisi dan profesi guru sangat dihormati. Walau gajinya sangat kecil, tapi kedudukan di masyarakat berada pada tatanan kaum elit priyayi. Hampir tidak pernah ada orangtua atau wali murid yang melabrak guru hanya karena telah menjewer atau memukul anaknya. Anak pun tidak akan berani mengadu kepada orangtua ketika mendapat hukuman dari guru, karena takut akan terkena marah.
Dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi depan. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menghormati dan menghargai guru, karena apa yang ada pada diri kita hari ini berkat perjuangan mereka, para guru. Tujuan utama dari pendidikan bukan sekadar cerdas dan pintar. Perlu langkah yang arif dan bijak dalam mensikapi guru yang ’salah’, yakni menyelesaikannya dalam tingkat internal antara guru, kepala sekolah, dan orangtua siswa serta pihak Dinas Pendidikan.
*) Penulis: Ketua Komunitas Minat Baca Indonesia (KMBI) Provinsi Lampung.