Oleh: Junaidi Ismail, SH | Wartawan Utama – Dewan Pers
KENAIKAN tarif Tol Bakauheni–Terbanggi Besar (Bakter) yang mulai berlaku pada 27 November 2025 adalah sebuah keputusan yang mengguncang perasaan masyarakat Lampung. Di tengah situasi ekonomi yang serba sulit, penghasilan yang tak seberapa, dan beban hidup yang terasa semakin menekan, kebijakan ini hadir seperti batu besar yang jatuh tepat di atas pundak rakyat yang sudah rapuh.
Masyarakat Lampung pada dasarnya bukan anti pembangunan. Mereka tidak menolak keberadaan jalan tol sebagai infrastruktur kemajuan. Mereka tidak menolak perkembangan zaman. Bahkan, banyak yang mengakui bahwa jalan tol telah memberikan manfaat dalam mempercepat mobilitas. Namun, ketika kebijakan tarif naik diterapkan pada titik waktu yang salah, di saat ekonomi masyarakat sedang terpuruk, maka keputusan itu menjadi ironi.
Tulisan ini berusaha menggali lebih dalam dinamika sosial-ekonomi yang menyertai kenaikan tarif tol, menelaah alasan pemerintah, dan membedah bagaimana kebijakan seperti ini semestinya dibuat dengan sensitivitas terhadap realitas rakyat. Sebab infrastruktur, betapapun megahnya, kehilangan makna ketika rakyat sebagai penggunanya justru merasa terbebani.
Tidak perlu menjadi ekonom untuk memahami bahwa kondisi ekonomi rakyat Indonesia, termasuk Lampung, sedang tidak baik-baik saja. Sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat menghadapi tekanan berlapis:
1. Harga kebutuhan pokok yang meningkat, dari beras, cabai, gula, hingga minyak.
2. Penghasilan yang stagnan atau bahkan menurun akibat persaingan kerja.
3. Biaya hidup yang melonjak, terutama biaya transportasi, pendidikan, dan kesehatan.
4. Daya beli yang melemah, terlihat dari aktivitas perdagangan di pasar-pasar rakyat yang sepi.
Ketika dompet rakyat mencair lebih cepat daripada gaji yang masuk, menaikkan tarif tol adalah langkah yang jauh dari empati. Banyak sopir logistik, pedagang, pekerja, dan pengusaha kecil yang mengeluh bahwa setiap rupiah tambahan pada tarif tol berarti tambahan pengeluaran yang menggerus pendapatan mereka.
Tidak hanya itu. efek domino dari kenaikan tarif tol juga menyentuh harga-harga barang yang melintas melalui jalur tersebut. Logistik yang mahal berarti distribusi mahal. Distribusi mahal berarti barang mahal. Dan pada akhirnya, rakyat kembali menjadi yang paling terpukul.
Dalam konteks ini, masyarakat merasa bahwa akses terhadap jalan tol seharusnya membantu mempercepat aktivitas ekonomi, bukan justru menjadi penghambat karena tarif yang semakin tidak masuk akal.
Salah satu titik yang membuat masyarakat bertanya-tanya adalah mengapa tarif tol di Lampung bisa lebih mahal dibandingkan tarif tol di Pulau Jawa. Padahal, dari sisi lalu lintas, volume kendaraan di Lampung jauh lebih rendah, aktivitas ekonomi belum sepadat Jawa Barat atau Jawa Timur, dan kemampuan ekonomi masyarakat pun cenderung lebih lemah.
Ibaratnya, Lampung sedang belajar berjalan, tetapi harus membayar ongkos seperti pelari maraton profesional. Hal ini tentu ganjil dan menimbulkan rasa ketidakadilan.
Masyarakat Lampung pun mulai mempertanyakan asas pembangunan nasional. Mengapa beban pembangunan justru terasa lebih berat di daerah yang masih berkembang? Mengapa rakyat Lampung harus membayar lebih mahal untuk infrastruktur yang semestinya menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi daerah?
Jika pembangunan infrastruktur tol di Sumatera diharapkan memperkuat konektivitas ekonomi antarwilayah, maka memberatkan tarif justru menghambat tujuan itu sendiri. Daerah yang seharusnya tumbuh menjadi tertekan, dan rakyat yang seharusnya terbantu menjadi terbebani.
Pengelola tol berdalih bahwa kenaikan tarif tol adalah amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur penyesuaian tarif tol setiap dua tahun. Secara hukum, argumen itu memang benar. Namun secara moral, apakah regulasi harus diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat?
Kebijakan publik bukan sekadar implementasi aturan. Ia adalah seni membaca situasi sosial, memahami konteks, dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil berpihak kepada rakyat, terutama mereka yang lemah dan terdampak langsung.
Undang-undang bukan palu godam yang harus diketuk tanpa melihat kiri-kanan. Undang-undang memberikan ruang interpretasi, ruang evaluasi, dan ruang untuk menyesuaikan kondisi lapangan. Namun ruang itu nyatanya sering tidak digunakan. Pada akhirnya, angka-angka dalam teks hukum terasa lebih penting daripada wajah-wajah rakyat yang sedang terluka.
Di banyak forum diskusi, keluhan masyarakat Lampung sebenarnya bukan soal tarif itu sendiri. Yang menjadi keluhan utama adalah kualitas layanan yang belum sebanding dengan tarif yang harus dibayar. Pengguna jalan tol kerap mengeluhkan sejumlah persoalan:
1. Jalan yang masih ditemui bergelombang atau tambalan yang tidak rata.
2. Penerangan jalan yang tidak merata, khususnya pada malam hari.
3. Rest area yang kurang lengkap, tidak nyaman, atau minim fasilitas.
4. Keamanan perjalanan yang kadang terganggu oleh tindak kriminalitas.
5. Kurangnya inovasi pelayanan, seperti sistem informasi lalu lintas dan penanganan darurat.
Ketika masyarakat membayar layanan premium, mereka mengharapkan kualitas premium pula. Tetapi jika layanan yang diterima masih standar bahkan di bawah standar, maka kenaikan tarif terasa seperti pemaksaan.
Masalahnya, kenaikan tarif tidak diikuti komitmen konkret dan transparan mengenai peningkatan kualitas. Masyarakat merasa dipaksa membayar lebih tanpa diberi jaminan perbaikan. Akibatnya, ketidakpercayaan tumbuh, dan kebijakan diterima sebagai beban, bukan manfaat.
Kebijakan publik yang tidak memerhatikan kondisi masyarakat berpotensi menimbulkan dampak psikologis yang signifikan. Rakyat yang merasa tidak dilibatkan dalam keputusan akan merasa ditinggalkan. Mereka merasa suara mereka tidak penting di mata pembuat kebijakan.
Keluhan masyarakat Lampung tentang kenaikan tarif tol bukan sekadar soal uang. Ia adalah ekspresi ketidakpuasan terhadap cara negara menyikapi situasi mereka. Ketika rakyat merasa pemerintah lebih peduli pada aspek legal daripada aspek moral, rasa kecewa itu bisa berkembang menjadi apatisme politik.
Dan apatisme politik adalah ancaman terhadap demokrasi. Sebab demokrasi hanya hidup ketika rakyat merasa terlibat, didengar, dan dihargai.
Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang empatik. Pemerintah harus memberi alasan yang masuk akal, bukan sekadar menjawab bahwa “ini amanat undang-undang.” Rakyat tidak butuh jawaban legal. Rakyat butuh jawaban moral.
Infrastruktur adalah simbol kemajuan. Tetapi kemajuan yang mengorbankan rakyat bukanlah kemajuan yang bermartabat. Dalam teori kebijakan publik, infrastruktur selayaknya menjadi:
1. Pemacu pertumbuhan ekonomi, bukan penghambat.
2. Fasilitator konektivitas, bukan beban fiskal.
3. Penjembatan mobilitas, bukan penyebab ketimpangan baru.
Namun komersialisasi infrastruktur telah membuat fungsi jalan tol berubah. Dari yang seharusnya menjadi layanan publik, meski berbayar, menjadi komoditas bisnis yang semata mengejar keuntungan. Masyarakat merasa sebagai konsumen, bukan warga negara. Padahal jalan tol dibangun di atas tanah rakyat, melalui kepentingan publik, dan seharusnya kembali menjadi manfaat publik.
Jika tarif tol terus naik tanpa perbaikan kualitas, maka publik akan melihat jalan tol sebagai “jalan khusus kelas menengah atas”, bukan jalan nasional yang seharusnya bisa diakses semua lapisan masyarakat.
Salah satu poin yang paling banyak disorot masyarakat adalah waktu kenaikan tarif. Mengapa kenaikan dilakukan ketika ekonomi rakyat sedang jatuh-jatuhnya? Mengapa tidak ditunda hingga kondisi membaik? Mengapa pemerintah terkesan terburu-buru dalam mengeksekusi kebijakan ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab oleh pemerintah dengan transparan. Keputusan tetap dijalankan. Tanpa ada dialog. Tanpa ada pembacaan mendalam terhadap situasi psikologis publik. Ini membuat publik merasa keputusan ini bukan untuk mereka, tetapi untuk pihak lain yang lebih besar dan lebih kuat.
Di banyak negara maju, penyesuaian tarif selalu melibatkan konsultasi publik, rencana mitigasi dampak, serta komitmen layanan yang jelas. Namun di Indonesia, kebijakan besar sering turun dari atas ke bawah, menimpa rakyat seperti hujan batu yang tidak bisa ditolak.
Masyarakat Lampung bukan tidak ingin pembangunan. Mereka tidak anti perkembangan. Mereka ingin Lampung maju. Mereka ingin daerah mereka terkoneksi dengan baik melalui jalur tol, pelabuhan, dan bandara. Tetapi mereka ingin pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Kritik terhadap kenaikan tarif tol bukanlah bentuk penolakan terhadap modernisasi. Kritik itu adalah dorongan langsung dari perasaan rakyat yang tertekan namun tetap berharap bahwa pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih bijak, lebih tepat, dan lebih reflektif terhadap kondisi kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa harapan sederhana masyarakat:
1. Tarif yang lebih rasional, sebanding dengan layanan.
2. Penundaan kenaikan tarif hingga kondisi ekonomi lebih stabil.
3. Transparansi perbaikan layanan, khususnya terkait pemeliharaan dan peningkatan fasilitas tol.
4. Dialog publik, agar masyarakat merasa didengar.
5. Evaluasi kesenjangan tarif antara Lampung dan Jawa.
Harapan itu bukan mustahil diwujudkan. Yang dibutuhkan hanyalah keberpihakan, empati, dan kesediaan pemerintah untuk membaca realitas rakyat.
Kenaikan tarif tol Lampung bukan hanya isu tentang uang. Ia adalah refleksi bagaimana kebijakan dibuat dan sejauh mana suara rakyat diperhitungkan. Ketika rakyat merasa beban hidup mereka semakin berat, pemerintah seharusnya hadir dengan kebijakan yang meringankan, bukan menambah beban.
Infrastruktur yang hebat bukan hanya soal beton yang kokoh, tetapi tentang keadilan yang kokoh. Tol yang megah bukan hanya soal panjang kilometer, tetapi tentang panjang pikiran pembuat kebijakan dalam memikirkan nasib rakyat. (*)

















