BANDAR LAMPUNG – Mencermati Putusan MK Nomor: 15/PUU-XXII/2024, Jum’at (3/1/2025) kemarin, yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo, terdapat implikasi hukum yang penting untuk diperhatikan.
Implikasi hukum tersebut berupa perubahan norma terhadap Pasal 3 Ayat (1) huruf c dan Pasal 20 Ayat (1) UU Advokat. Perubahan norma ini menandakan bahwa dosen PNS bisa berpraktik menjadi advokat.
“Namun perlu diperhatikan, dosen PNS yang menjalankan praktik advokat dibatasi dengan syarat-syarat. Jadi, adanya persyaratan ini yang harus atau wajib dipenuhi,” kata Ketua Harian IKA Unila, H. Abdullah Fadri Auli, SH, Sabtu (4/1/2025) petang.
Menurut praktisi hukum senior di Lampung itu, dosen berstatus ASN yang ingin menjalankan tugas advokat wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam Keputusan MK ketika hendak membela kliennya di muka persidangan.
“Dan jangan lupa, yang bersangkutan juga tetap diwajibkan memenuhi syarat yang tertera dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Advokat. Ketentuan ini jangan dilanggar,” lanjut Bang Aab, panggilan akrab H. Abdullah Fadri Auli yang juga menjabat Ketua Partai Ummat Provinsi Lampung.
Sebagaimana diketahui, dalam keputusannya MK memberikan beberapa persyaratan bagi dosen PNS yang berpraktik menjadi advokat untuk kepentingan probono. Yaitu:
1. Telah lulus ujian kompetensi advokat yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
2. Status advokat diberikan dalam rangka pengabdian kepada masyarakat dan hanya dapat diberikan jika dosen PNS telah mengabdi sebagai pengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di perguruan tinggi yang bersangkutan;
3. Harus bergabung dan telah mengabdi minimal 3 (tiga) tahun secara berturut-turut pada lembaga bantuan hukum atau nama lain yang dibentuk perguruan tinggi bersangkutan dan tidak diperbolehkan membuka kantor hukum (law firm) sendiri dan hanya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (prodeo/probono) untuk masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu, yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang;
4. Lembaga bantuan hukum perguruan tinggi dimaksud telah terakreditasi pada kementerian yang berwenang;
5. Jumlah advokat dalam lembaga bantuan hukum atau nama lain dimaksud tidak melebihi dari jumlah bagian/departemen fakultas hukum pada perguruan tinggi dimaksud;
6. Setiap pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksudkan pada poin harus mendapat izin dan setelah selesai harus melaporkan kepada pimpinan perguruan tinggi, in casu dekan fakultas hukum;
7. Tidak bergabung dan aktif sebagai anggota dalam organisasi advokat.
“Pertanyaannya, apa mau dosen ASN menjalankan tugas advokat secara cuma-cuma. Artinya, kalau kegiatannya selaku advokat mendapatkan pembayaran, ya terjadi pelanggaran,” tutup Ketua Harian IKA Unila, H. Abdullah Fadri Auli, SH. (fjr)