JAKARTA – Kementerian Perindustrian terus berupaya meningkatkan kualitas produk industri dalam negeri agar dapat berdaya saing melalui upaya standardisasi industri berupa pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib pada produk hasil industri. Pemberlakuan SNI ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kualitas produk industri dalam negeri melalui standar-standar yang telah ditetapkan dan juga untuk melindungi pasar dalam negeri dari produk impor berkualitas rendah (trade barrier).
“Maraknya peredaran barang impor di pasar dan platform digital (e-Commerce) saat ini, membuat Bapak Presiden memberikan arahan agar fokus pada pengetatan impor komoditas tertentu seperti pakaian jadi, mainan anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, obat tradisional, dan suplemen kesehatan, serta produk tas,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Senin (16/10).
Menperin mengemukakan, saat ini pengawasan yang sifatnya Post-Border akan diubah menjadi pengawasan di Border, dengan pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan juga Laporan Surveyor (LS). Dari total sebanyak 11.415 HS, terdapat ketentuan tata niaga impor (Larangan/Pembatasan atau Lartas) terhadap 6.910 HS (sekitar 60,5%) dan sisanya sekitar 39,5% merupakan barang Non-Lartas. “Dari 60,5% komoditas yang terkena Lartas tersebut, sebanyak 3.662 HS (32,1%) dilakukan pengawasan di Border dan sebanyak 3.248 HS (28,4%) dilakukan pengawasan Post-Border,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Kemenperin melakukan revisi atau perbaikan peraturan untuk mengakomodasi perubahan pengawasan dari post-border menjadi border tersebut dalam waktu dua minggu. Selain itu, menurut Menperin, terdapat usulan beberapa industri di kawasan berikat yang ingin menjual produknya di pasar domestik dengan melepas fasilitas-fasilitas yang didapatkan, di mana hal ini perlu juga diawasi secara ketat. Hal ini juga dikarenakan Kemenperin sampai saat ini belum memiliki akses data yang cukup valid terkait kuantitas produk dari kawasan berikat.
“Jika industri yang berada di kawasan berikat yang ingin menjual produknya ke dalam negeri, maka harus diciptakan playing field yang sama antara kawasan berikat dengan nonberikat agar tercipta fairness. Supaya industri di kawasan berikat tidak menjadi predator bagi industri di luar kawasan berikat yang tidak menerima insentif yang sama,” imbuhnya.
Ia menyebutkan, dalam upaya menetapkan kebijakan, diperlukan data dan informasi yang tepat. Sehingga, Kemenperin akhirnya harus membuat studi sendiri untuk menetapkan jumlah kawasan berikat di Indonesia. “Ini menjadi problem, kalau tidak terbuka satu sama lain terkait data, Kemenperin sebagai pembina industri tidak bisa melakukan tugas secara maksimal,” tandasnya.
Menperin juga menekankan pentingnya keterbukaan dan transparansi terkait data, termasuk dalam upaya pengendalian impor. “Kami telah mengusulkan agar langkah ini dilakukan melalui Neraca Komoditas yang sesuai dengan supply and demand nasional,” papar Agus.
Langkah selanjutnya, diperlukan pembentukan Satgas Nasional yang terdiri dari Kemenperin, Polri, Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Kominfo dan Badan Karantina. “Semua langkah ini diperlukan untuk melindungi pelaku usaha terutama industri nasional serta masyarakat Indonesia secara keseluruhan,” tuturnya.
SNI Wajib
Menperin menegaskan, semua produk yang diproduksi dan beredar di Indonesia, baik produk dalam negeri atau produk luar negeri, harus mematuhi regulasi pemberlakuan SNI Wajib dan regulasi lain yang sudah ditetapkan, serta harus dipastikan bahwa kegiatan importasi tidak mematikan atau merugikan industri dalam negeri. “Hal ini diperlukan, agar tercipta persaingan usaha yang sehat, mampu melindungi industri nasional Indonesia dan juga memastikan bahwa produk-produk yang beredar di pasar kita adalah produk yang aman, berkualitas, dan mendukung pertumbuhan ekonomi kita,” imbuhnya.
Pada tahun 2021, Kemenperin melalui Pusat Pengawasan Standardisasi Industri telah melakukan Pengawasan fokus produk impor sebanyak 95 merek untuk 10 SNI wajib dari 15 provinsi dan hasilnya 63,1% mematuhi regulasi SNI Wajib.
Selanjutnya, pada tahun 2022, telah dilakukan pengawasan produk dalam negeri dan impor sejumlah 124 merek untuk 28 SNI Wajib dari 18 provinsi, hasilnya 65,3% mematuhi regulasi SNI Wajib. “Untuk pengawasan tahun 2023 sedang dilakukan hingga akhir tahun. Hingga September 2023, telah dilakukan pengawasan sebanyak 62 merek produk dalam negeri dan impor untuk 21 SNI wajib dari 18 provinsi dan hasilnya 46 merek sesuai SNI, tujuh merek tidak sesuai SNI dan sembilan menunggu hasil uji,” sebutnya.
Sesuai Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2022 tentang Standardisasi Industri, Menperin menjelaskan, penanganan kasus adanya produk yang mutunya tidak sesuai dengan SNI Wajib dilakukan dengan memberitahukan kepada pelaku usaha tentang hasil pengawasan serta perintah menghentikan produksi (jika di pabrik) dan perintah penarikan barang (jika di pasar).
Selanjutnya, diberikan kesempatan kepada industri untuk memperbaiki mutu produknya melalui verifikasi Lembaga Sertifikasi Produk dan diperbolehkan beredar kembali setelah memenuhi syarat mutu SNI Wajib. Sanksi administratif diberlakukan jika perintah penghentian produksi atau penarikan barang tidak dilakukan.
“Hal ini merupakan cerminan semangat pembinaan dari Kemenperin sebagai pembina perindustrian. Namun jika ditemukan dugaan tindak pidana, maka berlaku sanksi pidana seperti yang diatur dalam Undang-Undang 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dimana teknis proses beracara hukumnya akan ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian,” tandasnya.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Andi Rizaldi menyampaikan bahwa Kemenperin berperan memastikan pemberlakuan SNI wajib pada produk yang diproduksi, diedarkan, dan diimpor oleh industri sudah sesuai dengan regulasi. Melalui Permenperin No. 45 Tahun 2022, mengamanatkan untuk dilakukan kegiatan pengawasan SNI oleh Petugas Pengawas Standar Industri (PPSI) yang diangkat oleh Menteri Perindustrian. Namun, apabila dalam kegiatan pengawasan terdapat tindak pidana maka akan ditangani oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian (PPNS-I).
“Bapak Menteri telah mengangkat sebanyak 191 PPSI yang terdiri dari 122 PPSI Pusat dan 69 PPSI daerah. Seluruh calon PPSI yang diangkat tersebut telah memenuhi persyaratan sesuai dengan Permenperin No. 45 Tahun 2022,” terangnya.
Diharapkan para PPSI dan PPNS dapat menjadi tulang punggung pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia, mendeteksi pelanggaran regulasi yang bisa mengancam eksistensi sektor industri nasional, membantu mengakselerasi peningkatan daya saing industri, serta sekaligus melindungi pelaku usaha secara luas dan masyarakat Indonesia.
“Sesuai arahan Bapak Menteri, selain adanya koordinasi internal, perlu juga koordinasi dengan pihak lain sehingga berjalan sinergi. Kita tidak anti terhadap impor, tetapi dengan satu catatan, harus melihat kondisi kapasitas industri dalam negeri. Contohnya, apabila ada kebutuhan nasional sebanyak 100 produk, tetapi industri nasional baru bisa memenuhi 70 produk, yang sisanya boleh dari luar atau dari kawasan berikat. Jadi,kami memprioritaskan produk dalam negeri terlebih dahulu,” jelas Andi. (*)