Oleh : Dr. Wendy Melfa
*Legal Standing of Presiden Right
Dua hal yang paling banyak mendapat pemberitaan media dalam hal penanganan perkara pidana korupsi pada tingkat nasional dipenghujung tahun 2024, -dikatagorikan nasional disini karena melibatkan tokoh nasional-, dalam hal penegakan hukum yaitu penetapan status tersangka dalam perkara suap Harun Masiku (HM) pada eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, terhadap Hasto Kristianto (HK), Sekjen DPP PDI, yang sudah berjalan lima tahun sejak buronnya tersangka HM oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentang penetapan tersangka ini tidak dibahas dalam artikel ini.
Satu hal lagi yang hangat dalam pemberitaan media, tentang penyataan Presiden Prabowo Subianto (PS) akan memaafkan pelaku tindak pidana korupsi sepanjang koruptor itu mau mengembalikan kerugian negara. Pernyataan orang nomor satu Indonesia itu disampaikan dihadapan mahasiswa asal Indonesia di Universitas Al Azhar ketika lawatannya ke Kairo Mesir, (18/12/2024), meskipun kemudian pernyataan itu diklarifikasi yang dimaksud adalah meminta koruptor yang bertaubat mengembalikan uang korupsi ke negara. Hal mana klarifikasi tersebut disampaikan Presiden PS sendiri dalam pidato perayaan Natal Nasional di Jakarta, Sabtu (28/12/2024) lalu.
Menurut perspektif tatanegara, sesungguhnya “keinginan” Presiden dalam hal memaafkan dengan syarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi (koruptor) tersebut adalah dalam kewenangannya menjalankan hak konstitusional yang melekat pada diri seorang Presiden. Tinggal bagaimana kita menempatkannya sesuai dengan bekerjanya hukum kita. Presiden mempunyai hak “sakti” yang merupakan prerogatif (prerogative right) untuk memberikan Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi. Ketentuan itu tertuang serta diatur dalam UUD 1945.
*Bekerjanya Huk
Penggunaan prerogative right Presiden tidaklah pula sertamerta dapat digunakan tanpa memperhatikan bekerjanya hukum itu sendiri. Hak “sakti” kepunyaan Presiden dapat digunakan dengan tetap mengedepankan asas penegakan hukum positip kita, dan juga prinsip-prinsip check and balances pada sistem pemerintahan Presidensial Indonesia. “Kesaktian” Presiden dalam hal pemberian grasi dapat diberikan pasca incraht-nya putusan pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara yang melibatkan koruptor, sehingga memenuhi asas legalitas, adanya pengakuan dari koruptor, dan satu ‘syarat tambahan’ dari Presiden PS berupa mengembalikan kerugian negara. Proses hukum ini dilakukan secara terbuka dan tanpa memberikan ‘previlage’ kepada siapapun, sehingga terwujud prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law).
Untuk menjaga absolutisme Presiden dalam menjalankan “kesaktiannya”, penggunaan hak ini sebelumnya mendapatkan ‘pendapat” dari Mahkamah Agung (MA) sebagai prisip-prinsip menjalankan check and balances antar lembaga negara dalam sistem pemerintahan Presidensial. Dalam hal ini antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dengan Mahkamah Agung (yudikatif).
Penggunaan hak untuk memberikan Amnesti juga demikian halnya, tetap dengan mengedepankan proses hukum dan juga mempertimbangkan pendapat DPR RI dalam menjaga agar tidak berlaku absolutisme penggunaan kekuasaan Presiden serta pelaksanaan prinsip check and balances antar lembaga negara dalam sistem pemerintahan Presidensial, dalam hal ini antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dengan DPR RI (legislatif). Namun demikian, untuk digarisbawahi, sebagai landasan operasional penggunaan hak ini, Presiden ‘memiliki’ pertimbangan ‘untuk kepentingan negara’ dan bukan merupakan bentuk ‘intervensi’ terhadap kekuasaan Yudikatif.
*Extra Ordinary, Diselesaikan Dengan Extra Ordinary
Korupsi diklasifikasikan bukan sebagai kejahatan biasa (extra ordinary crime), karena daya rusaknya luar biasa terhadap sendi-sendi perekonomian, pembangunan, dan kehidupan bangsa. Indeks Persepsi Korupsi dari survey Transparency International, Indonesia berada pada urutan ke-115 dari 180 negara dengan skor 34, dan urutan ke-6 pada negara-negara ASEAN. Berdasar hasil survey tersebut dapat dipersepsikan angka persepsi korupsi di Indonesia masih cukup tinggi, tentu untuk mengatasi ini diperlukan langkah-langkah yang tidak hanya bersandarkan pada proses hukum untuk mengatasi persoalan korupsi dengan cara yang biasa.
Perlu didorong penggunaan cara yang juga bukan biasa-biasa saja (extra ordinary way), disamping itu juga negara ‘membutuhkan’ pengembalian kerugian negara untuk membiayai pembangunan yang sempat ‘dicuri’ dalam upaya mempercepat recovery ekonomi Indonesia. Dan unsur yang paling menentukan dalam tindak pidana korupsi itu adalah unsur yang menyebabkan kerugian negara. ‘Pengembalian’ kerugian negara yang menjadi ‘syarat’ dari Presiden PS itulah menjadi kontekstual dalam hal penggunaan ‘kesaktian’-nya sebagai Presiden, dan itu make sense bagi publik bila dinarasikan demikian.
Persoalan narasi ini menjadi penting dalam upaya memaknai secara kontekstual atas apa yang tersaji dalam pidato sang Presiden secara tekstual, sebagaimana tersaji melalui media, juga dalam mencegah miss leading atau gagal paham yang dapat membuat ‘riuh’ upaya-upaya kita mengatasi problem korupsi di negara kita. Dengan memahami begitu majemuk dan beragamnya komponen masyarakat bangsa kita, justru mengatasi korupsi sebagai sebuah extra ordinary crime, pelibatan secara langsung maupun tidak langsung seluruh masyarakat adalah juga bagian dari cara yang bukan biasa (extra ordinary way), termasuk saran, pendapat, dan kritikan sekalipun yang dapat kita pahamı sebagai cermin dalam upaya lebih menyempurnakan kebijakan mengatasi persoalan korupsi, juga untuk menjaga miss leading persepsi publik. Bijak dan tidak “Baperan” dalam mensikapi pendapat yang disampaikan, baik dari mereka yang berstatus Guru Bangsa, Guru Ngaji sampai para Guru Besar, sebaiknya kita tempatkan pada kerangka menyempurnakan.
Karena pada dasarnya, hukum yang dijadikan landasan itu sendiri adalah nilai-nilai norma interdependen yang mengikuti perkembangan masyarakatnya, saling membutuhkan dan menguatkan.
Mengutip theory hukum responsif dari Nonet – Selznick yang membagi tipe hukum dalam masyarakat: represif (otoriter), otonom (hukum bekerja untuk tegaknya hukum semata), dan responsif (hukum untuk menjawab kebutuhan dan aspirasi sosial), maka ‘keinginan’ Presiden PS untuk memaafkan koruptor sepanjang mengembalikan kerugian negara, dapat ditempatkan dalam penegakan hukum oleh penguasa dalam kategori hukum yang responsif, dimana hukum yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural, tetapi juga dapat berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (publik) yang bertujuan untuk mengembalikan kerugian negara serta bermanfaat untuk membiaya kebutuhan negara. Bukan hanya menyajikan ‘balas dendam’ bagi koruptor dengan memenjarakannya, namun tetap mengedepankan azas hukum dan kebijakan (policy) sesuai dengan kewenangannya.
*Penulis: Akademisi Universitas Bandar Lampung (UBL).