HeadlineHukum & KriminalLainnyaLampung Raya

Negara Mengontrol “PREMAN (ISME)

Oleh: Dr. Wendy Melfa

FENOMENA PREMAN

Preman atau free man, (Inggris), Vrij man (Belanda) yang pertama kali dikenal di Indonesia bertempat di Medan. Awalnya digambarkan sebagai orang-orang yang bebas (tidak terikat kontrak kerja), kemudian kerap digunakan oleh kaum penjajah sebagai kelompok ‘penekan’ terhadap para pekerja pribumi di perkebunan atau perdagangan hasil perkebunan.

Dalam perkembangan masyarakat kontemporer pola-pola kekerasan, intimidasi, dan sewenang-wenang, jalan pintas dan cenderung melanggar norma hukum dan sosial, menimbulkan ketidaknyamanan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompoknya selanjutnya menjadi gaya hidup, inilah yang kemudian disebut sebagai premanisme.

Kehidupan dan gaya premanisme juga dikenal di berbagai belahan dunia, baik perseorangan maupun yang terorganisir, ada Yakuza di Jepang, Al Capone di Amerika, Mafioso di Italia, dan masih banyak lagi lainnya yang di masing-masing negara mempunyai identitas dan nama, tetapi mempunyai kesamaan dalam menjalankan aksinya.

Kehidupan preman dengan premanismenya banyak dijumpai dekat dengan kehidupan sosial yang mengandung faktor kriminogen dan pelanggaran hukum, seperti perjudian, narkoba, dunia hiburan malam, dan prostitusi, dan berbagai bentuk kejahatan, hingga ada juga yang dimanfaatkan secara terorganisir oleh para pihak perseorangan atau perusahaan dalam mencapai ‘membantu’ tujuan usahanya, seperti debt collector, pengosongan lahan sengketa, penguasaan lahan/bangunan secara paksa dengan sejumlah imbalan materi.

Di dalam negeri, dengan menggunakan landasan Pasal 28 UUD 1945, dan UU 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sejumlah kumpulan orang yang kemudian membentuk dan memenuhi persyaratan adminisitrasi mendirikan ormas sebagai identitas dan ‘rumah’ tempat mereka menjalankan aktivitasnya, namun belakangan disinyalir keberadaan ormas-ormas tersebut terdapat beberapa yang ditemukan serta dimanfaatkan untuk menjalankan kegiatan dan aksinya juga diwarnai dengan gaya premanisme, sehingga diantaranya ada yang terkesan preman berkedok ormas, atau ormas yang menjalankan aksi premanisme.

Seiring meningkatnya eskalasi konsolidasi dan aksi-aksi (oknum) ormas tersebut di tengah masyarakat pada beberapa daerah, hingga juga kerap menimbulkan keresahan masyarakat (sebagian) atau paling tidak telah mengusik ‘kenyamanan’ sebagian warga masyarakat.

NEGARA HADIR

Manakala kenyamanan sebagian masyarakat terganggu, meningkatnya eskalasi gangguan keamanan, atau secara konstitusional tujuan negara (sesuai pembukaan UUD 1945) terusik, maka negara melalui pemerintah dan aparat keamanan harus hadir, diminta ataupun tidak diminta. Disinilah salah satu esensi tugas pemerintah untuk mewujudkan tujuan negara.

Hadirnya negara dalam mengontrol dan ‘membereskan’ persoalan preman dan aksi premanisme yang mengganggu atau meresahkan masyarakat, bukan hanya pekerjaan remeh temeh ataupun sebaliknya membesar-besarkan cara penanganan masalah, tetapi merupakan tugas konstitusional dari pemerintah yang wajib dipenuhi guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Terganggunya kehidupan sosial masyarakat melalui cara-cara kekerasan, intimidasi, pelanggaran norma sosial dan atau norma hukum untuk keuntungan perseorangan atau kelompoknya, dapat dikategorikan pada ketentuan Pembukaan UUD 1945 tersebut.

Mengantisipasi tugas pemerintah dan keadaan masyarakat kontemporer berkaitan dengan aktivitas preman dan premanisme yang sudah menimbulkan gangguan masyarakat, ada beberapa langkah holistik yang dapat dilakukan, baik yang bersifat preventif, dipahami sebagai langkah kepada kelompok-kelompok ormas baik yang terkontaminasi dengan kedok premanisme ataupun tidak, memberikan bimbingan dan keterampilan untuk lapangan kerja, mental dan kerohanian.

Bersifat Kuratif, langkah tegas dan terukur dapat dilakukan penegakan hukum pidana terhadap mereka yang memenuhi unsur pidana, ormas yang tidak memenuhi persayaratan dilakukan pembinaan sampai pembubaran organisasinya, dan jika ditemukan terdapat preman berkedok ormas dan berlindung pada payung hukum tentang ormas, maka sudah selayaknya dengan mengacu pada teori law as a tool of social engineering (Roscoe Pound), UU 17/2013 tentang ormas patut untuk dievaluasi dan direvisi.

GAYA SAMA WAJAH BERBEDA, BERESIN JUGA

Bila disimak lebih seksama unsur-unsur perilaku atau gaya premanisme yang dirasakan mengusik peri kehidupan sosial dan iklim investasi pada masyarakat kontemporer, sepertinya tidak saja meliputi aksi-aksi oleh preman di lapangan, baik secara perseorangan atau berkelompok dalam kategori blue collar (kerah biru), yang merupakan pengganggu/pengusik/penekan yang dapat dikelompokkan sebagai aksi premanisme yang dilakukan secara konvensional.

Tetapi juga yang patut diwaspadai, diantisipasi, dan diberantas adalah aksi-aksi premanisme yang dilakukan oleh mereka yang dikatagorikan white collar (kerah putih), tidak kalah mengganggu dan merugikan masyarakat yang sedang berkepentingan, yaitu mereka yang menjalankan aksi premanisme dari kelompok berdasi, atau berseragam.

Fenomena ini masih kerap dapat ditemukan baik yang berseliweran pada laman-laman media, maupun obrolon serius para pelaku usaha di warung-warung kopi. Negara sepatutnya ikut ‘membereskan’ masalah sosial ini sebagaimana juga bertekad membereskan premanisme yang beraksi di lapangan. Negara dapat mengandalkan fungsi intelijen untuk mendeteksi aksi perilaku premanisme yang dilakukan oleh ‘preman’ berdasi atau berseragam ini, tanpa perlu menunggu laporan dari masyarakat menjadi korban dan dirugikan akibat aksi mereka.

Penanganan aksi premanisme ini diharapkan komprehensif serta tidak hanya secara parsial, baik terhadap mereka yang melakukan aksinya secara konvensional maupun oleh mereka yang berdasi atau berseragam, sehingga akan menciptakan kenyamanan masyarakat dalam kehidupan sosialnya maupun pada iklim investasinya.

Negara adalah kendali atas segala kekuasaan yang dipegang dan diberikan oleh rakyatnya, termasuk mengontrol hal-hal yang berpotensi bisa mengganggu ketertiban dan kenyamanan masyarakatnya. Ibarat remote control, maka negara bisa berlaku menjalankan kekuasaan rakyat sebagaimana diinginkan oleh rakyatnya, power by remote control, rakyatlah yang memberikan power kepada kekuasaan negara untuk dijalankan oleh pemerintahnya.

*Penulis: Dosen UBL & Koordinator Ruang Demokrasi (RuDem).

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.