PADANG – Film dokumenter yang berjudul Pabaruak diputar di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Pemutaran film itu dalam acara road to awarding night screening film terpilih Festival Film Bulanan (Fesbul) Lokus 6.
Selain film Pabaruak juga diputar film Setelah Kita Menangis karya Sutradara Fani Atma Wijaya asal Palembang yang juga merupakan film terpilih pada Festival Film Bulanan (FFB) Lokus 6.
Film Pabaruak berdurasi 13.51 detik. Film ini menceritakan sebuah kearifan lokal masyarakat pesisir Sumatera Barat yang dikenal dengan pabaruak (pemilik kera untuk mengambil kelapa) yang diwarisi secara turun-temurun. Namun dalam film ini Pabaruak bukan dikisahkan didaerah pesisir (daerah darat di tepi laut), melainkan di daerah darek (sebutan untuk daerah minang yang terletak di dataran tinggi) yaitu Batusangkar.
Dalam film itu menceritakan seoarang anak yang tidak senang melihat ayahnya yang bekerja menjadi seorang pabaruk karena sering diejek oleh teman-temanya. Dan ayahnya juga merupakan seorang korban PHK secara sepihak akibat pandemi Covid-19.
Penulis Film Pabaruak, Dafriansyah Putra mengatakan, melalui film Pabaruak kita mengangkat budaya yang ada di Sumatera Barat. Pada daerah lain yang memanjat kelapa itu adalah orang, namun di Sumatera Barat itu adalah hewan.
“Orang Minang memiliki keterkaitan dengan alam sehingga bisa mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Dan memanjat kelapa dengan baruak adalah salah satu keunikan yang ada di Sumbar dan tidak ada di daerah lain,” ujarnya usai pemutaran film Pabaruak di bioskop Plaza Andalas pada Minggu, (26/11/2023) malam.
Ia melanjutkan, pesan yang disampaikan pada film Pabaruak ada melalui simbol seperti melalui silat.
“Cerita dalam film ini terinspirasi dari lingkungan di dekat rumah saya karena sering melihat orang membawa beruk lewat mengunakan motor,” tuturnya yang pertama kali menjadi penulis untuk sebuah film.
Ia mengatakan, film ini menonjolkan seorang pabaruak yang bukan berada didaerah Pesisir, melainkan di daerah darek, dan hal itu menjadi sesuatu yang ditertawakan.
“Film Pabaruak tidak berlatar daerah pesisir seperti Pariaman yang memang di daerah itu banyak pabaruak. Konflik di sini adalah ketika pabaruak berada di luar daerah pesisir dan hal itu menjadi suatu yang ditertawakan,” lanjutnya.
Ia mengatakan, nilai moral dalam film ini salah satunya membuktikan bahwa filosofi orang minang itu Alam Takambang Jadi Guru.
“Kedekatan kita dengan alam harus dilestarikan karena banyak ilmu yang bisa dipelajari dari alam untuk kehidupan sehari- hari,” sebutnya.
Salah satu orang tua dari Abizur Rizki kelas O5 SDN Beringin Batusangkar, Sumbar yang menjadi pemain antagonis Film Pabaruak Ahmad Ansori berharap anaknya dapat menjadi pemain untuk film-film berikut.
“Dia yang digigit ular tadi. Kita selaku orang tua tentu berharap ini tidak berakhir sampai di sini dan bisa menjadi pemain difilm selanjut,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu penonton Padila Yusra mengatakan, teman yang diangkat pada filmnya menarik karena menceritakan bagiamana pabaruak itu berada di daerah darek.
Ia melanjutkan, biasanya yang Pabaruak itu sering dijumpai Pariaman saja, akan tetapi pada film dokumenter ini Pabaruak ada di daerah darek.
“Filmnya bagus, kita dapat melihat konfliknya bahwa anak dari seorang pabruak itu menjadi ejek-ejek oleh teman-temanya. Hanya saja saya kurang paham dengan endingnya,” sebutnya. (lg)