Oleh : Dr. Agus Nompitu, SE, MTP
Pada dasarnya, kepemimpinan dalam bidang pemerintahan dinamakan kepemimpinan birokrasi (bureacucratic leadership). Kepemimpinan birokrasi menurut Thokroamidjoyo (1987: 113) dalam Pasolong (2010: 117) adalah administrator sebagai pimpinan birokrasi yang harus mengambil keputusan (decision making).
Pimpinan birokrasi merupakan pemimpin yang diangkat dalam suatu jabatan oleh pejabat yang berwewenang. Dia mencapai pemimpin karena mengepalai suatu unit organisasi tertentu. Dia mempunyai bawahan sebagai pengikut, mereka berada disana karena sudah diatur oleh yang berwewenang mengaturnya.
Pergeseran Paradigma
Kepemimpinan birokrasi dapat diartikan sebagai suatu proses mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan mengarahkan organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika, karakter, pengetahuan dan keterampilan melalui kewenangan yang dimilikinya. Legitimasi kewenangan ini pula yang digunakan Weber (1978) ketika menyusun model kepemimpinan birokrasi.
Model kepemimpinan birokrasi Weberian, sebagaimana karakteristik kelembagaan birokrasi Weber, cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal, dan hierarkis, serta pengawasan yang kaku.
Burns (1974) dan selanjutnya Bass (1985), menambahkan bahwa kepemimpinan birokrasi seperti transaksi antara kekuasaan dan loyalitas pegawai. Mekanisme kepemimpinan birokrasi Weberian seperti jual beli saja, pekerjaan ditukar dengan gaji, jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender.
Model kepemimpinan transformasional yang berfokus pada kemampuan seorang pemimpin dalam membangun sinergi dalam organisasi melalui pengaruh dan kewenangan sehingga mampu dalam mencapai visi dan misi organisasinya. Selama ini, model kepemimpinan yang diterapkan organisasi pemerintah adalah model kepemimpinan transaksional.
Namun, seiring dengan perkembangan dan luasnya orientasi dan tuntutan birokrasi, maka model kepemimpinan transaksional dianggap tidak mampu lagi mengatasi kompleksitas permasalahan pemerintahan yang ada, terutama dalam penyelenggaraan pembangunan dan pelayanan publik.
Salah satu solusi terhadap permasalahan ini adalah model kepemimpinan transformasional yang dilakukan melalui pengembangan kompetensi dalam bentuk kepemimpinan dan perilaku kepemimpinan unggulan melalui upaya keras dan komitmen yang tinggi.
Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan untuk memberikan inspirasi dan memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan secara orisinil dan untuk imbalan internal. Dengan mengungkapkan suatu visi, pemimpin transformasional membujuk para pengikut untuk bekerja keras mencapai sasaran yang digambarkan. Visi pemimpin memberikan motivasi bagi pengikut untuk bekerja keras yakni memberikan penghargaan kepada diri sendiri.
Konsep kepemimpinan transformasional pertama kali dikemukakan oleh Burns (1974), dari penelitian deskriptif mengenai kepemimpinan politik. Burns menjelaskan, bahwa kepemimpinan transformasional sebagai sebuah proses, yaitu para pemimpin dan pengikut saling meningkatkan motivasi dan moralitas yang lebih tinggi. Para pemimpin mencoba meningkatkan kesadaran dari para pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral dengan mentransformasikan menggerakkan kebutuhan-kebutuhan tingkatan yang lebih tinggi sebagaimana hierarki kebutuhan.
Kepemimpinan transformasional sebagai kemampuan yang dimiliki seorang pimpinan untuk mempengaruhi anak buahnya, sehingga mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya. Kompetensi transformasi seorang pemimpin mungkin dapat diukur dari kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh pegawai melalui pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi dan misi organisasinya.
Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut Bass, dapat dilakukan dengan cara: (1). meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan, (2) mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan kelompok dan organisasi, bukan pada kepentingan pribadi, dan (3) mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
Pembuat Kebijakan
Pembuat kebijakan publik adalah para pejabat publik, termasuk para pegawai senior pemerintah (public bureaucrats), yang tugasnya tidak lain adalah untuk memikirkan dan memberikan pelayanan demi kebaikan publik/kemaslahatan umum (public good). Dalam hubungan ini, para semisal Fistreusch (1983), dalam Malik dkk (2015: 27), membagi kebaikan publik dalam 5 unsur, yaitu: (1) keamanan (security), (2) hukum dan ketertiban umum (law and order), (3) keadilan (justice), (4) kebebasan (liberty), dan (5) kesejahteraan (welfare).
Di negara-negara maju, isu-isu yang menyangkut persoalan keamanan, hukum, dan ketertiban sudah lama tidak lagi menjadi isu kontroversial dalam keputusan-keputusan kebijakan (policy decision) pemerintah. Karena itu, para pembuat kebijakan di negara-negara ini isu-isu yang selalu menyedot perhatian mereka adalah yang menyangkut nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan. Semakin pentingnya ketiga nilai di atas juga tercermin dengan jelas dalam pertarungan pemikiran yang seru di kalangan para ahli, yakni antara ahli utilitarian, yang menekankan kesejahteraan, dan nilai-nilai dari aliran yang menekankan keadilan, serta ahli dari aliran yang menekankan kebebasan.
Strategi Kepemimpinan
Kepemimpinan erat kaitannya dengan pengikut yang berada di lingkungannya. Meminjam istilah Pelajaran Biologi, ekosistem bisa diartikan sebagai model ruang lingkup kepemimpinan, di bidang inovasi.
Ekosistem sebenarnya adalah istilah yang dipinjam dari disiplin biologi. Menurut Kumar dan Mina (2018), ekosistem merujuk pada sebuah lingkungan yang terdiri dari semua makhluk yang hidup di area tertentu, beserta semua benda lain yang tidak hidup atau unsur fisik seperti udara, tanah, air, dan sinar matahari yang berada pada lingkungan makhluk hidup dimaksud menetap.
Merujuk definisi Oh, Phillips, Park, dan Lee (2016), ekosistem inovasi terdiri dari para pelaku inovasi berikut pemangku kepentingan yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak, dan sumber daya lain, seperti pendanaan, fasilitas fisik, teknologi, institusi, termasuk proses interaksi sosiologis yang dinamis, serta budaya kerja yang memungkinkan produk atau jasa inovatif terwujud.
Berbeda Oksanen and Hautamaki (2014), yang menyatakan bahwa istilah ekosistem inovasi mengacu pada jaringan interaktif, dinamis, dan kapabel untuk melahirkan inovasi. Dalam praktiknya, jaringan ini merujuk pada sentra-sentra inovasi lokal, jaringan global atau platform teknologi.
Lebih lanjut, istilah ekosistem inovasi juga dapat berakar pada kelompok area industri atau pun bisnis. Penghasil produk-produk inovatif mendunia, seperti Silicon Valley di Amerika (lini Apple Inc), Bangalore di India (lini aplikasi), dan Jyvaskyla di Finlandia (lini Nokia), sebagai ekosistem-ekosistem inovasi terkemuka di dunia.
Proses pemahaman indusktif tersebut rupanya beranjak dari publikasi-publikasi ilmiah yang memberikan perhatian khusus terhadap adanya tren bermunculannya ekosistem inovasi. Ekosistem inovasi hadir dalam berbagai lingkup kehidupan, tidak lagi eksklusif didominasi oleh sektor privat saja, tetapi merambah ke berbagai level.
Seperti halnya hidup manusia, inovasi diyakini memiliki siklus hidup. Ibarat kehidupan memiliki roda yang terus berputar: kadang di atas, lain waktu berubah di bawah. Ada pula yang mengartikan terdapatnya tahapan, mulai dari hidup, kemudian tumbuh kembang, dan akhirnya mati. Semua akan berubah seiring waktu atau tahapan kehidupan kita masing-masing. Satu-satunya yang langgeng adalah perubahan itu sendiri.
Demikian pula dengan inovasi. Jika kita sependapat bahwa hanya perubahanlah yang langgeng, kita juga perlu berinovasi terus-menerus. Untuk mengawali siklus hidup inovasi, kita harus menciptakan ekosistem iniovasi. Inilah kunci pergeseran paradigma kepemimpinan birokrasi yang harus sama-sama kita sadari.
*Penulis: Ketua ISEI Cabang Lampung & Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem).