HeadlineLainnyaLampung Raya

Puasa: Hidup Jangan Berlebihan

Oleh: Junaidi Jamsari

PADA Jum’at kedua Ramadhan kali ini, kata yang paling tepat terlontar dari lisan kita adalah “Alhamdulillah”. Patut kita syukuri bahwa kita masih berjumpa dengan bulan paling agung dan berlipatnya keutamaan-keutamaan di dalamnya.

Kita telah di pertengahan bulan Ramadhan tahun 1446 H/2025 M. Ingatan kita dan masih terngiang dipikiran dan juga kita lihat, kita dengar di sekeliling kita betapa banyak orang yang tahun lalu dan tahun ini melaksanakan puasa, bersukacita memimpikan bertemu dengan Idul Fitri merayakan Lebaran, tapi sekarang sudah terbujur di liang kuburan.

Kita pun tidak pernah tahu, kapan kita semua bakal menyusul mereka: setelah Ramadhan tahun ini ataukah di dalam Ramadhan ini?
Lalu yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan ikhtiar ibadah dalam setiap hari, setiap jam, setiap detik, pada bulan suci ini.

Dalam setiap literatur keagamaan, hampir selalu dijumpai bahwa definisi puasa adalah al-imsâk, yang berarti menahan. Dalam ilmu fiqh, al-imsâk dimaknai sebagai menahan makan dan minum dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di dunia tasawuf, al-imsâk memiliki arti lebih dalam lagi, yakni menahan dari setiap hal yang membuat seorang hamba lalai dari Allah. Puasa adalah momentum penjernihan jiwa, penyucian batin, dan taqarrub kepada Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amal kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, kata kunci dalam puasa adalah menahan atau mengendalikan. Puasa adalah madrasah bagi tiap individu untuk tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, tapi juga mengendalikan diri dari segenap perilaku yang mubazir, keinginan-keinginan yang tidak penting, serta akhlak-akhlak tercela semacam tamak, angkuh, pamer, bohong, bangga diri, berfoya-foya, atau meremehkan orang lain.

Ibadah puasa Ramadhan merupakan wahana pendidikan rohani agar kita piawai menahan diri dari godaan dan kuasa nafsu jasmaniah dalam berbagai bentuknya. Dengan begitu, para mukmin yang berpuasa diharapkan dapat meraih derajat lebih tinggi sebagai orang yang bertakwa (muttaqin).

Pertanyaannya adalah: sejauhmana kualitas kita dalam ikhtiar “menahan” (al-imsâk) itu?

Kenyataan yang sering dijumpai, hadirnya bulan puasa Ramadhan selalu berbanding lurus dengan tingkat konsumsi di berbagai sektor. Di bulan Ramadhan, persediaan makanan cenderung bertambah ketimbang hari biasanya, barang-barang dagangan pun kian laris, dan pusat-pusat perbelanjaan ramai diserbu orang. Tiba-tiba saja harga kebutuhan pokok di pasar ikut naik.

Kondisi ini bahkan sudah berlangsung sejak sebelum memasuki awal bulan Ramadhan. Selain sektor makanan dan minuman, peningkatan konsumsi juga terjadi pada “kebutuhan” sandang seperti baju koko, busana muslimah, sarung, mukena, peci dan seterusnya.

Tradisi Lebaran yang seolah mewajibkan warga Indonesia untuk tampil serba baru, membuat kebutuhan belanja mereka berlipat ganda. Belum lagi, mudik yang mensyaratkan para pelakunya untuk memiliki kekayaan lebih, baik untuk kebutuhan transportasi maupun saat di kampung halaman.

Tak ada masalah apabila apa yang diikhtiarkan memang benar-benar merupakan kebutuhan. Yang sangat tidak dianjurkan adalah saat kita serius membelanjakan sesuatu yang sebatas “keinginan”.

Disinilah kita belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Pengeluaran yang hanya didasarkan pada nafsu, gengsi, atau pamer, tak layak disebut kebutuhan. Nah, puasa menjadi sarana penempaan seorang hamba agar istiqamah bertahan (al-imsak) dijalur kesederhanaan sebagaimana diteladankan Rasulullah. Puasa melatih manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, bukan semata keinginan-keinginan.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-A’râf (31) kita juga diingatkan, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Pesan “jangan berlebih-lebihan” pada ayat ini menjadi standar atau syarat setelah Allah mempersilakan anak cucu Adam untuk berbusana dan memenuhi kebutuhan makan dan minumnya. Demikian, semoga Ramadhan kali ini kita sanggup lebih dari sebatas puasa jasmani, tapi juga puasa rohani, dalam pengertian sungguh-sungguh mengendalikan musuh terbesar manusia, yakni nafsu, untuk memperoleh kebahagiaan hakiki kelak bersama Allah.

*Penulis : Wakil Ketua Tanfidziyah PW NU Lampung.

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.