HeadlineHukum & KriminalLampung Raya

Soal Dosen FH Unila yang ‘Ngamen’ Seolah-olah Advokat, Gindha Ansori Beberkan Aturan

BANDAR LAMPUNG –  Terungkapnya fakta ada dua dosen berstatus ASN di Fakultas Hukum (FH) yang “mengamen” sebagai kuasa hukum -dan seolah-olah advokat-, terus menjadi perhatian publik.

Seusai Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) IKA FH Unila, H. Bey Sujarwo, SH, MH, menyatakan: “Seyogyanya dosen ASN tersebut tidak melakukan seolah-olah sebagai advokat seperti yang diamanahkan UU Advokat”, kini giliran praktisi hukum senior, Gindha Ansori Wayka, menguraikan pandangannya.
Dimata Gindha Ansori, apa yang dilakukan dua dosen berstatus ASN di FH Unila, yaitu Dwi Pujo Prayitno, SH, MH, -yang fotonya mendadak hilang dari website FH Unila sejak Jum’at (27/12/2024) petang-, dan Dr. Satria Prayoga, SH, MH, dengan menangani perkara dan menjadi kuasa hukum, adalah pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan.
“Di dalam dunia advokasi jelas siapa pihak yang diberikan tugas serta kewenangan mendampingi seseorang dalam memberikan jasa bantuan hukum,” kata Gindha Ansori Wayka, Senin (30/12/2024) pagi.
Dijelaskan, Pasal 1 Ayat (1) dan (2) UU Nomor: 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menjelaskan bahwa yang dapat melakukan praktik jasa hukum adalah advokat.
Merujuk dari hal ini, maka pengertian advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU tersebut.
Sedangkan pengertian jasa hukum, lanjut Gindha, adalah jasa yang diberikan advokat berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan kliennya.
Menurut dia, yang dapat diangkat menjadi advokat sesuai Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor: 18 Tahun 2003 adalah yang memenuhi persyaratan. Diantaranya adalah warga negara Republik Indonesia, bertempat tinggal di Indonesia, tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara, berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun, berijazah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat, magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat, dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, serta berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
“Nah, berdasarkan Pasal 3 Ayat (1) huruf (c) itu sudah jelas, bahwa seseorang yang dapat diangkat menjadi advokat adalah tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Hal inilah yang membatasi ASN atau PNS tidak dapat memberikan jasa hukum, termasuk dosen PTN yang berstatus sebagai ASN,” tegas Gindha Ansori, seraya menambahkan, pengaturan tentang pegawai negeri di antaranya terdapat dalam UU Nomor: 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), serta Peraturan Pemerintah Nomor: 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Diakui oleh advokat senior itu, bahwa selama ini banyak dosen PTN berstatus ASN, juga berpraktik seolah-olah sebagai penasihat hukum atau mendampingi seseorang yang bermasalah secara hukum dengan alasan (dalih) melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat.
“Dengan dalih pengabdian kepada masyarakat ini, kemudian ada banyak dosen berstatus ASN melakukan praktik-praktik yang seharusnya dijalankan oleh seseorang yang berprofesi sebagai advokat,” tutur Gindha.
Dari fenomena yang terjadi di dalam ranah advokasi ini, sambungnya, seringkali disoal oleh orang yang berprofesi sebagai advokat, karena di dalam ketentuannya sangat jelas, bahwa orang yang memberikan jasa hukum di dalam dan di luar pengadilan harus terlebih dahulu diangkat sebagai advokat dengan berbagai persyaratan, termasuk tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
Terkait dengan “ngamennya” dosen FH Unila tersebut, Gindha menjelaskan bahwa disatu sisi advokat dipastikan akan menyoal terkait praktik ASN, termasuk dosen PTN yang berprofesi seolah memberikan jasa hukum yang memang menjadi kewenangannya, disisi lain dosen PTN yang berstatus ASN akan melakukan upaya untuk melegalkan keberadaan pendampingan dengan alasan pengabdian kepada masyarakat.
Jadi harus bagaimana? “Yang harus dicermati adalah, diduga pendampingan hukum ini juga ada yang berbayar atau mendapatkan fee, bukan hanya sekadar mendampingi dan menasihati dalam bidang hukum saja secara cuma-cuma. Seperti contoh apa yang dilakukan oleh seorang dosen PTN berinisial DPP yang mendapat fee atas pendampingan hukum oleh dirinya, dan saat ini ada laporan dugaan tindak kriminal yang sedang ditangani oleh pihak berwajib,” katanya lagi.
Dijelaskan Gindha, fakta bahwa dosen PTN berstatus ASN dalam rangka melegalkan pendampingan hukum dengan berlindung pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian kepada masyarakat tersebut, saat ini sedang ada permohonan uji materiil dari dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) di Mahkamah Konstitusi (MK), yang tujuannya menguji Pasal 3 ayat (1) huruf c dan Pasal 20 ayat (2) UU Nomor: 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), terkait advokat harus memenuhi persyaratan tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.
“Permohonan uji materiil ini teregistrasi di dalam Perkara Nomor: 150/PUU-XXII/2024 sebagaimana dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi dengan judul: Menyoal Larangan Dosen PNS Jadi Advokat, yang diirilis Selasa, 29 Oktober 2024, Pukul 09:45 WIB,” lanjut Gindha Ansori.
Dikatakan, saat ini permohonan uji materiil perkara Nomor: 150/PUU-XXII/2024 itu sedang berlangsung di MK, dimana sidang terakhir digelar pada 11 November 2024 lalu dengan agenda perbaikan permohonan. Menyangkut putusan MK atas permohonan ini ada dua hal yang dijelaskan oleh Hakim MK; permohonan akan terlebih dahulu dibawa ke Rapat Permusyarahan Hakim (RPH) terkait mekanisme diputus melalui pleno atau hanya Mahkamah. Apabila melalui pleno terlebih dahulu, maka dipastikan putusan permohonan akan digelar setelah persidangan gugatan Pilkada Serentak 2024 yang saat ini sudah mulai berlangsung di MK.
Terlepas dari permohonan uji materiil ini, Gindha Ansori menegaskan bahwa perbuatan dua dosen FH Unila berstatus ASN dengan memberikan jasa hukum, terlebih berbayar, maka senyatanya telah melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf (c) UU Nomor: 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
“Perbuatan yang dilakukan oleh dua dosen berstatus ASN itu, dalam hal pendampingan dan pemberian jasa hukum, merupakan praktik yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai advokat. Karena belum ada putusan yang membatalkan ketentuan pasal ini,” imbuh Gindha Ansori.
Dikatakan, jika alasan kedua dosen FH Unila tersebut sebagai implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian kepada masyarakat, namun fakta yang terjadi diduga mereka mendapat fee atau pembayaran dari jasa hukum yang diberikan. Padahal, sesuai ketentuan perundang-undangan, hal ini menjadi ranahnya seseorang yang berprofesi sebagai advokat.
“Idealnya, alasan pengabdian masyarakat tersebut akan diterima masyarakat dalam hal pendampingan dan konsultasi terkait dengan orang-orang yang tidak mampu, karena benar-benar mengabdi kepada masyarakat. Apabila berbayar, maka jelas bukan mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi karena mendapat manfaat (fee), sehingga dapat saja dikategorikan menerima gratifikasi atas pendampingan hukum tersebut,” ucap Gindha dengan serius. (fjr)

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.