JAKARTA – Kementrian Agama (Kemenag) mengajukan usukan untuk menaikan biaya haji pada tahun ini. Menyikapi hal itu, anggota Fraksi Gerindra DPR, Fadli Zon, usulan itu.
Bahkan, Fadli meminta dilakukan audit khusus ke Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan penggunaan dana haji.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengatakan, usulan kenaikan kenaikan biaya haji menyalahi prinsip tata kelola penyelenggaraan haji yang diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kemenag mengusulkan biaya haji 2023 jadi Rp 98,89 juta per jemaah.
Dari jumlah itu, biaya yang ditanggung jamaah mencapai 70 persen atau sekitar Rp 69,19 juta per orang. Sisanya 30 persen atau 29,7 juta dibayarkan nilai manfaat pengelolaan dana haji. Fadli menilai, kenaikan yang diusulkan Kemenag sangat tidak wajar.
Pasalnya, biaya yang harus ditanggung jamaah haji pada 2022 hanya sekitar Rp 39,8 juta per orang. Artinya, jika tahun ini jamaah asal Indonesia tetap dipaksa untuk membayar sampai Rp 69,19 juta, kenaikannya mencapai lebih dari 73 persen.
“Di mana, negara seharusnya hadir memberikan perlindungan dan pelayanan terbaik. Mengubah komposisi biaya yang harus ditanggung jamaah dalam porsi yang drastis sangatlah tidak bisa dibenarkan,” kata Fadli, Sabtu (28/1/2023).
Kedua, asumsi yang dijadikan dasar Kemenag tidak riil. Inflasi global sepanjang tahun lalu diperkirakan hanya 8,8 persen. Dalam negeri, angka inflasi Indonesia hanya 5,5 persen dan harga minyak dunia dan avtur cenderung turun dan stabil.
Penurunan itu jelas bisa mengurangi komponen biaya penerbangan. Pemerintah Arab Saudi telah pula menyampaikan secara umum harga akomodasi haji tahun ini 30 persen lebih murah dari tahun lalu saat masih berada dalam pandemi Covid-19.
Maka itu, sambung dia, di tengah semua penurunan tersebut, jelas ada masalah tata kelola yang serius jika pemerintah justru menaikkan porsi biaya yang harus dibayarkan oleh jamaah haji Indonesia. Bahkan, jika besaran kenaikannya lebih dari 73 persen.
Ketiga, Januari 2023, KPK sudah mengingatkan masalah serius dalam tata kelola penyelenggaraan ibadah haji. Kajian Direktorat Monitoring KPK, tiga titik rawan korupsi dana haji mulai biaya akomodasi, biaya konsumsi dan biaya pengawasan.
Bahkan, temuan KPK, kerugian negara yang timbul dari tiga celah tadi cukup besar dan bisa mencapai Rp 160 miliar. Selain itu, yang paling serius, KPK menengarai penempatan dan investasi dana haji di Indonesia yang masih tidak mampu optimal.
“Sehingga, perolehan nilai manfaat dana haji kita jauh lebih kecil daripada yang seharusnya bisa didapat,” ujar Fadli. (rp)