HeadlineHukum & KriminalLampung Raya

Unila Bilang Tidak Berkepentingan, Yoga Ngaku Siapkan Matkul Baru

BANDAR LAMPUNG – Perlahan tapi pasti, praktik “ngamen” dosen berstatus ASN di FH Unila, makin menunjukkan “lemahnya” kepemimpinandan kedisiplinan, baik di tingkat Fakultas maupun Universitas.

Bila melalui surat bernomor: 14354/UN26.07/HM/2024 mengenai Hak Jawab dan Klarifikasi Berita dari Unila tertanggal 30 Desember 2024 yang ditandatangani Kepala Biro Perencanaan dan Humas, Budi Sutomo, SSi, MSi, atas nama Rektor Prof. Lusmeilia Afriani, Tim Kerja Rektor Bidang Komunikasi Publik Unila, Dr. Nanang Trenggono, MSi, menegaskan bahwa tindakan ASN tersebut (DPP dan Satria Prayoga, red) dilakukan secara pribadi atau personal, bukan merepresentasikan kepentingan Unila, ternyata faktanya berbanding terbalik dengan pengakuan Dr. Satria Prayoga, SH, MH.

Dosen FH Unila dengan keahlian hukum administrasi negara (HAN) ini Selasa (31/12/2024) lalu mengaku keterlibatannya sebagai kuasa khusus mendampingi mantan Cabup Pringsewu, Adi Erlansyah, menggugat KPU ke PT TUN dan mengajukan permohonan ke MK, tidak lepas dari keinginannya melahirkan mata kuliah (matkul) baru di FH Unila. Artinya, ada kepentingan Unila yang “dibawa” Dr. Yoga.
“Sebagai penanggungjawab mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) dan sedang menggagas mata kuliah Hukum Acara Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, berusaha mengetahui segala proses jalannya pilkada dengan cara turun langsung, apakah salah. Disertasi saya, penelitian dan pengabdian saya dari tahun 2014 juga tentang pilkada. Nofelty (kebaruan) dari penelitian saya juga tentang formulasi yang ideal Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah,” ujar Satria Prayoga melalui pesan WhatsApp.

Ia bersikukuh bahwa “ngamennya” sebagai kuasa khusus -seolah advokat-, tidak melanggar aturan apapun.

Lalu bagaimana kegiatannya dengan menjadi kuasa khusus yang dianggap sebagai bagian dari penelitian dan pengabdian guna melahirkan matkul baru di FH Unila itu? “Soal mau tidak mata kuliah yang saya gagas ini, tergantung pimpinan, disetujui atau tidak. Dianggap penting atau tidak, tergantung pimpinan,” kata Dr. Yoga, Rabu (1/1/2025) siang.

Namun, setelah pernyataannya bahwa keterlibatannya dalam perkara pilkada yang dianggap sebagai pengabdian mendapat kritikan dari Ketua Harian IKA Unila, Abdullah Fadri Auli, dosen ASN kelahiran 23 Juni 1982 itu tidak mau lagi menjawab pertanyaan yang diajukan.

Bahkan saat dihubungi Jum’at (3/1/2025) pagi, Dr. Yoga yang biasanya bersikap terbuka, tidak memberi respon sama sekali.

Seperti diketahui, banyak pengakuan Dr. Satria Prayoga, SH, MH, -dosen berstatus ASN- yang menuai polemik. Penegasannya bahwa kuasa hukum di MK -berdasarkan surat kuasa khusus- tidak harus advokat dengan mengacu pada Peraturan MA Nomor: 11 Tahun 2016, “dibantai habis” oleh Ketua Peradi Bandar Lampung, Bey Sujarwo, SH, MH, advokat senior Gindha Ansori Wayka, bahkan Guru Besar FH Unila, Prof. Hamzah, SH, MH.

Pun soal keterlibatannya menangani perkara pilkada sebagai pengabdian, dikritik tuntas oleh Ketua Harian IKA Unila, Abdullah Fadri Auli.

“Soal dalih Dr. Yoga kalau itu -kegiatannya menjadi kuasa dalam perkara pilkada- adalah kegiatan pengabdian, memang dapat dibenarkan jika ada izin dan penugasan dari Dekan atau Fakultas. Tanpa itu, apa yang dilakukan tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan resmi pengabdian. Artinya, kegiatan liar dan Fakultas dapat memberikan sanksi,” tegas Bang Aab, panggilan akrab Abdulllah Fadri Auli.

Lalu apa komentar Nanang Trenggono selaku Tim Kerja Rektor Bidang Komunkasi Publik Unila atas pengakuan Dr. Satria Prayoga bila dari kegiatannya menangani perkara pilkada untuk melahirkan matkul baru di FH Unila -yang membalikkan fakta bahwa kegiatan yang dilakukan Dr. Yoga tidak merepresentasikan kepentingan Unila? Sayangnya, sampai berita ini ditayangkan, belum diperoleh tanggapan dari mantan Ketua KPU Lampung tersebut. (fjr)

Related Posts

Load More Posts Loading...No More Posts.