JAKARTA – Delapan pemerintah provinsi (pemprov) mendesak agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan disahkan Tahun 2023. Saat ini, RUU Daerah Kepulauan sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
“Kita bangkit terus. Kita perjuangkan sampai RUU Daerah Kepulauan ini diundangkan. Yang penting dukungan kita terus mengalir untuk RUU Daerah Kepulauan,” ujar Ketua Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi di Jakarta, Jumat (2/12/2022).
BKS Provinsi Kepulauan terdiri atas delapan provinsi, yakni Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Delapan provinsi tersebut memiliki total 99 kabupaten/kota.
Desakan agar RUU Daerah Kepulauan segera disahkan sudah disampaikan BKS Provinsi Kepulauan dalam working group discussion II di Jakarta, pada Kamis (1/12/2022) lalu. Ali Mazi mengaku heran dengan lamanya proses pembahasan dan pengesahan RUU Daerah Kepulauan di DPR. Menurut dia, RUU ini sudah 18 tahun atau sejak 2004 diperjuangkan dengan dua periode melalui usulan DPR dan dua periode usulan dari DPD.
“Tentunya ini menimbulkan pertanyaan bagi kami. Ada apa dengan RUU Daerah Kepulauan?” tegasnya.
Ali Mazi mengatakan RUU Daerah Kepulauan juga sudah tiga kali masuk dalam Prolegnas, yakni pada 2021, 2022, dan 2023. Namun, kata dia, RUU tersebut sulit sekali disahkan, sementara proses pembahasan dan pengesahan RUU lainnya, menurut Ali Mazi, tampak begitu mudah dan proses yang kilat.
Ali Mazi mencontohkan RUU yang cepat disahkan DPR dan pemerintah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; Undang-Undang Cipta Kerja; dan perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
“Kami tidak tahu ada sejumlah rancangan undang-undang itu. Waduh, tiba-tiba kok sudah ketok palu. Sementara RUU Daerah Kepulauan yang memuat kesejahteraan rakyat, tidak kunjung diketok,” katanya.
Ali Mazi menjamin tujuan RUU Daerah Kepulauan semata demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat yang tinggal di daerah berciri kepulauan. Pemerintah, kata dia, tak perlu khawatir karena provinsi kepulauan tidak bermaksud menjadi daerah otonomi khusus melalui RUU ini.
“Kami tidak ingin provinsi kepulauan menjadi otonomi. Tetapi paling tidak, ibarat pembagian kue, ada kesamarataan antara daerah kepulauan dengan non-kepulauan,” terang dia.
Senada dengan Ali Mazi, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nono Sampono mengatakan, opsi terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah kepulauan dan pesisir adalah melalui undang-undang.
“Dan RUU Daerah Kepulauan adalah jalannya. Jangan bicara ke arah lain lagi karena akan mundur,” kata Nono Sampono.
DPR periode 2014-2019 pernah membentuk panitia khusus RUU Daerah Kepulauan dan sudah terbit surat presiden yang memerintahkan tujuh kementerian untuk membahas RUU tersebut bersama DPR. Menurut Nono, negara perlu hadir di daerah-daerah kepulauan dengan mengesahkan RUU ini.
“Sekarang tinggal bagaimana komitmen kita bersama supaya negara hadir, khususnya di daerah kepulauan yang terjadi ketimpangan, ketertinggalan, dan berbagai macam persoalan.
Kalaupun ada duplikasi di antara RUU Daerah Kepulauan dengan undang-undang atau peraturan lainnya, cukup disinkronisasi,” imbuh Nono.
3 Proses
Pada kesempatan itu, anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengatakan, perlu cara-cara kreatif untuk mengegolkan RUU Daerah Kepulauan. Mardani pun menyarankan tiga hal agar RUU Daerah Kepulauan segera diproses. Pertama, membangun gagasan yang mainstream.
“Dalam membangun RUU Daerah Kepulauan agar menjadi arus utama, maka perlu memasukkan paradigma baru dalam RUU tersebut, yakni unsur blue economy atau ekonomi biru dengan basisnya kelautan, sehingga akan sangat berdampak pada delapan provinsi kepulauan,” tutur Mardani.
Mardani juga mendorong BKS Provinsi Kepulauan menyampaikan gagasan dalam RUU ini ke lingkaran presiden agar visi poros maritim yang sudah kuat dapat terimplementasi dengan baik. Termasuk, kata dia, disampaikan kepada Kementerian Keuangan. Salah satu jalannya adalah dengan membedah kembali Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena, menurut dia, sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
“Kedua, mengawal peraturan pemerintah yang berkaitan dengan daerah kepulauan. Sambil mendayung, peraturan pemerintahnya dikawal terus. Ketiga, jangan lelah memperjuangkan provinsi kepulauan. Karena sejatinya Indonesia adalah negara kepulauan dan yang seharusnya paling maju adalah daerah kepulauan,” ungkap Mardani.
Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Agus Fatoni mengatakan telah memperhatikan isi dari RUU Daerah Kepulauan. Pada prinsipnya, terdapat dua perihal utama dari rancangan undang-undang tersebut, yakni kewenangan dan pendanaan.
“Dalam dua poin ini, sebenarnya pemerintah pusat sudah memberikan perhatian khusus melalui berbagai kebijakan terkait daerah berciri kepulauan,” kata Fatoni.
Landasan hukum dalam memberikan perhatian khusus pada daerah berciri kepulauan, menurut Agus Fatoni, ada pada Pasal 18B ayat (1), Pasal 22D ayat (1), dan Pasal 25A UUD 1945. Ada pula Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS/Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya di Pasal 27 sampai Pasal 30 tentang kewenangan dan percepatan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan.
Lalu ada juga Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya kelautan sebagai negara kepulauan yang berciri Nusantara, kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya di Pasal Pasal 27 ayat (1) di mana provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut di wilayahnya.
“Kewenangan provinsi dalam mengelola sumber daya alam di laut, meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; pengaturan administratif; pengaturan tata ruang; ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. Serta mengatur kawasan pengelolaan sumber daya alam di laut paling jauh 12 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan,” beber Fatoni.
Khusus tentang kewenangan provinsi di laut dan daerah berciri kepulauan, menurut Agus Fatoni, pemerintah saat ini sedang menyusun rancangan peraturan pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Apabila diperlukan, kita dapat merumuskan regulasi. Yang sudah ada dirapikan dan yang belum ada, dibuat,” katanya.
Sementara, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, masalah kesenjangan antara daerah kepulauan dengan daerah non-kepulauan sudah lama diperdebatkan. Bahkan, kaya Suharso, RUU Daerah Kepulauan sudah dibahas saat dirinya masih Anggota DPR tahun 2004.
“Saya mengingatkan kembali filosofi negara kepulauan seperti yang disampaikan Presiden pertama RI Sukarno. Bung Karno mengatakan Nusantara adalah laut yang di dalamnya ada pulau-pulau. Bukan pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut. Ini beda berbeda filosofinya. Dengan begitu, yang terpenting adalah rasa keadilan,” ungkap Suharso.
Bappenas sedang merancang bagaimana daerah kepulauan saling terhubung bukan hanya melalui perairan, namun juga udara. Moda transportasi udara, menurut dia, dapat menembus ruang dan waktu dengan pelayanan yang cepat dan tidak perlu membangun bandara khusus.
“Kami mendorong pesawat N-219 milik PT Dirgantara Indonesia menjadi seaplane dan bisa beroperasi di daerah kepulauan,” pungkas Suharso.
Profil Delapan Provinsi Kepulauan
1. Provinsi Kepulauan Riau
Jumlah pulau: 2.408 pulau
Jumlah penduduk: 2.064.564 jiwa
Luas daratan: 10.595,41 km2
Luas lautan: 242.825 km2
Jumlah kabupaten/kota: 7 kabupaten/kota
2. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Jumlah pulau: 556 pulau
Jumlah penduduk: 1.455.678 jiwa
Luas daratan: 16.424,06 km2
Luas lautan: 65.301 km2
Jumlah kabupaten/kota: 7 kabupaten/kota
3. Provinsi Sulawesi Utara
Jumlah pulau: 287 pulau
Jumlah penduduk: 2.621.923 jiwa
Luas daratan: 15.069 km2
Luas lautan: 37.800 km2
Jumlah kabupaten/kota: 15 kabupaten/kota
4. Provinsi Sulawesi Tenggara
Jumlah pulau: 527 pulau
Jumlah penduduk: 2.624.875 jiwa
Luas daratan: 38.067,70 km2
Luas lautan: 114.879 km2
Jumlah kabupaten/kota: 17 kabupaten/kota
5. Provinsi Maluku Utara
Jumlah pulau: 856 pulau
Jumlah penduduk: 1.282.937 jiwa
Luas daratan: 32.004,57 km2
Luas lautan: 113.796,53 km2
Jumlah kabupaten/kota: 10 kabupaten/kota
6. Provinsi Maluku
Jumlah pulau: 1.286 pulau
Jumlah penduduk: 1.848.923 jiwa
Luas daratan: 54.185 km2
Luas lautan: 658.331,5 km2
Jumlah kabupaten/kota: 11 kabupaten/kota
7. Provinsi Nusa Tenggara Timur
Jumlah pulau: 532 pulau
Jumlah penduduk: 5.325.566 jiwa
Luas daratan: 47.931,54 km2
Luas lautan: 200.000 km2
Jumlah kabupaten/kota: 22 kabupaten/kota
8. Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jumlah pulau: 407 pulau
Jumlah penduduk: 5.320.092 jiwa
Luas daratan: 20.153,15 km2
Luas lautan: 29.159 km2
Jumlah kabupaten/kota: 10 kabupaten/kota (nh)