BANDAR LAMPUNG – Kasus penganiayaan terhadap lima alumni IPDN angkatan XXX oleh para seniornya di kantor BKD Lampung, Selasa, 8 Agustus lalu, dipastikan segera ke pengadilan.
Dan bisa dipastikan, Deni Rolind Zabara yang telah ditetapkan sebagai tersangka, bakal duduk di kursi pesakitan PN Tanjungkarang.
Kepastian tetap berjalannya proses penegakan hukum ini setelah Satreskrim Polresta Bandar Lampung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, beberapa hari lalu.
Kasi Pidum Kejari Bandar Lampung, Firdaus Affandi, mengakui pihaknya telah menerima SPDP kasus penganiayaan di kantor BKD Lampung itu.
“Kami sudah menerima SPDP-nya. Juga telah ada tersangkanya yaitu Deni RZ dan kawan-kawan,” kata Firdaus Affandi sebagaimana dikutip dari Lampost.co, Rabu (30/8/2023).
Guna melanjutkan proses hukum atas kasus penganiayaan yang mempermalukan Gubernur Arinal Djunaidi karena terjadi di kantor BKD Lampung tersebut, Kejari telah menunjuk dua orang sebagai jaksa penuntut umum, yaitu Eka Septiana dan Desmila.
Firdaus menjelaskan, kedua jaksa wanita itu yang akan mempelajari berkas perkara, hingga siap untuk disidangkan.
Lalu siapa selain Deni RZ yang merupakan alumni IPDN angkatan XVIII sebagai tersangka dalam kasus ini? Menurut sebuah sumber, masih ada beberapa yang lainnya. Diduga kuat mereka adalah MH, G, IP dan J. Ketiganya merupakan alumni IPDN angkatan XXIX yang saat peristiwa memang berada di lokasi kejadian perkara.
Sebagaimana diketahui, Selasa (8/8/2023) malam, Deni RZ yang saat itu menjabat Kabid Mutasi BKD Lampung bersama alumni IPDN angkatan XXIX telah melakukan penganiayaan terhadap lima alumni IPDN angkatan XXX di salah satu ruangan kantor BKD Lampung.
Saat itu, Ahmad Farhan dan empat alumni IPDN angkatan XXX baru melapor atas penugasan mereka selepas pendidikan di Kampus Jatinangor. Akibat aksi penganiayaan disertai penutupan mata itu, Ahmad Farhan harus menjalani perawatan intensif di RSUAM Tanjungkarang selama beberapa hari.
Setelah kasus ini menjadi perhatian publik, Gubernur Arinal Djunaidi memerintahkan Kepala Inspektorat Fredy SM melakukan pemeriksaan terhadap Deni RZ dan para alumni IPDN angkatan XXIX. Hasilnya, Deni “pasang badan”.
Kasus kriminal murni ini sempat membuat “para senior” alumni sekolah tinggi kepramongprajaan melakukan gerilya agar masalahnya tidak berlanjut. Bukan hanya mendekati aparat penyidik tetapi juga kepada keluarga Ahmad Farhan, untuk perdamaian.
Namun hasil gerilya “para senior” hanya bisa mengamankan empat korban penganiayaan tidak melapor kepada APH. Sedang kepada keluarga Ahmad Farhan, nihil. Proses hukum terus berjalan.
Jauh sebelumnya, praktisi hukum senior di Lampung, Yulius Andesta, telah mengingatkan bila hukum pidana tidak mengenal perdamaian.
“Besar, kecil atau sedang, yang namanya perbuatan atau delict pidana, ya harus dihukum. Dan apa yang dilakukan aparat Polresta saat ini adalah bagian penting dalam proses penegakan hukum pidana. Kita semua patut mengapresiasi dan memberi dukungan kepada penyidik,” kata Yulius Andesta.
Di mata advokat senior ini, kasus penganiayaan yang terjadi di kantor BKD Lampung harus berujung di pengadilan.
“Apalagi dilakukan oleh ASN, yang semestinya menjadi contoh dan teladan dalam penegakan hukum. Konsekuensi sebagai aparatur negara tentu saja pertanggungjawabannya lebih berat, sebab memiliki kewenangan. Ditambah sebagai lulusan IPDN, sehingga sangat jelas bila perkara ini tidak bisa ditolerir,” lanjutnya.
Terkait dengan adanya upaya “para senior” untuk melepaskan Deni RZ dari jerat hukum melalui adanya perdamaian dan restorative justice alias RJ, Yulius Andesta menegaskan, RJ bukan merupakan sebuah terobosan hukum atau pembaharuan hukum, juga bukan solusi dari penegakan hukum.
“Makanya menjadi aneh jika tindak pidana dapat dikompromikan atau perbuatan pidana dapat ditolerir menjadi satu kesepakatan damai atas kehendak para pihak, bukan kehendak hukum,” urainya.
Bagaimana bila terjadi perdamaian dalam kasus penganiayaan yang membuat salah satu korbannya, Ahmad Farhan, harus menjalani perawatan selama beberapa hari di RSUAM Tanjungkarangitu? “Kita harus mengetahui, bahwa kesalahan terbesar dalam penegakan hukum tindak pidana adalah adanya toleransi. Kalau pun nanti dalam perjalanan proses penegakan hukum yang dilakukan aparat Polresta saat ini muncul perdamaian, perkaranya ya wajib terus berjalan. Karena soal adanya perdamaian atau toleransi dan pertimbangan-pertimbangan merupakan kewenangan hakim pada tingkat pengadilan. Bukan pada tingkat kepolisian maupun kejaksaan,” terang Yulius. (fjr)