ANDAR LAMPUNG – Rencana Pemkot Bandar Lampung menjual aset tanah pada 14 titik yang tersebar di delapan lokasi guna mendulang dana yang diestimasi mencapai Rp 385 miliar, bukan merupakan solusi terbaik untuk mengatasi kebangkrutan anggaran selama ini. Justru hal itu membuktikan kurang kreatifnya pejabat dalam menggali potensi retribusi dan pendapatan daerah.
“Yang semestinya diprioritaskan pemkot adalah peningkatan pendapatan daerah dengan memaksimalkan perolehan retribusi atas aset yang dimiliki. Bukan malah menjual yang sudah ada,” kata pengamat politik, pemerintahan, dan hukum, Helman Saleh, Selasa (12/9/2023).
Ketua Komunitas Ide Kreatif-Inovatif untuk Kemajuan Daerah (KIKI-KEDAH) itu menjelaskan, bila Walikota Eva Dwiana cermat dan bisa menggerakkan aparaturnya dengan maksimal, sesungguhnya cukup banyak potensi pendapatan yang bisa digali.
Misalnya, lanjut alumni Magister Ilmu Pemerintahan Fisip Unila itu, aset pemkot berupa ruko maupun kios di Pasar Panjang, jumlahnya mencapai 49 unit. Belum lagi pada pasar-pasar yang lain. Termasuk retribusi dari rumah pemotongan hewan.
“Memang dana yang masuk tidak mencapai miliaran, namun bila ditangani dengan baik, hal semacam ini merupakan bagian dari solusi mengatasi kebangkrutan anggaran di Pemkot Bandar Lampung,” lanjutnya.
Mengutip dari LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada Laporan Keuangan Pemkot Bandar Lampung tahun 2022, akibat tidak ditanganinya dengan baik aset berupa ruko di Pasar Panjang saja, Pemkot Bandar Lampung telah kehilangan pendapatan minimal sebesar Rp 344.412.000.
“Itu baru dari satu pasar yang pemkot memiliki aset disana. Bagaimana dengan pasar-pasar yang lain. Potensi retribusi dari pemakaian kekayaan daerah ini, kalau ditangani dengan baik, akan menjadi solusi jangka panjang dalam memperbaiki keuangan pemkot,” urai dia.
Helman Saleh mengaku miris melihat kondisi keuangan Pemkot Bandar Lampung beberapa tahun belakangan ini. Utamanya terkait pendapatan asli daerah (PAD).
“Pemkot dalam APBD 2022 mencantumkan PAD sebesar Rp 935.169.978.663. Angka ini tidak rasional, sebab dari tahun ke tahun, realisasi penerimaan PAD tidak pernah mendekati angka tersebut,” kata dia
Dijelaskan, pada 2019 realisasi PAD Rp 627.296.544.826,64, pada 2020 mengalami penurunan menjadi Rp 537.542.438.100,13, dan pada 2021 sebanyak Rp 564.289.613.747,91.
Menurut dia, penganggaran PAD oleh Pemkot Bandar Lampung tidak mempertimbangkan perhitungan yang rasional berdasarkan potensi dan realisasi tahun sebelumnya.
Karena tidak tertatanya penganggaran dengan baik dan rasional, akhirnya dana DAK dan PEN yang seharusnya berada di kas daerah sebagai restricted cash sebesar Rp 64.039.091.375,36 dipergunakan tidak sesuai peruntukan.
Ia juga menilai, masih sangat rendahnya kedisiplinan dalam tata kelola penggunaan anggaran yang ada di jajaran pejabat Pemkot Bandar Lampung. Sehingga terjadi kelebihan pembayaran honorarium yang tidak sesuai ketentuan pada 54 OPD di tahun 2022 lalu sebanyak Rp 3.733.744.250.
Menurut Helman Saleh, kalau pun pemkot tetap bersikukuh akan menjual 14 asetnya guna mengatasi kebangkrutan anggaran, hal tersebut hanya solusi jangka pendek.
“Untuk membangun kembali pondasi keuangan daerah diperlukan kinerja ASN yang benar-benar profesional serta kreatif. Utamanya yang bertugas di tempat-tempat berkaitan langsung dengan pendapatan daerah. Tanpa kreativitas yang tinggi, ya jual aset itu sajalah yang dipikirkan. Dan tentunya, hal ini sangat tidak rasional serta disayangkan,” pungkas Helman Saleh. (fjr)