BANDAR LAMPUNG – Terbukanya kongkalikong berbagai pihak untuk mendapat bagian dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) di Lampung, sungguh memprihatinkan.
Betapa tidak. Aparatur pemerintah yang bertugas sebagai tim pengawas penggunaan dana BOS malah meminta upeti dari uang rakyat yang semestinya untuk menunjang peningkatan kualitas belajar mengajar tersebut.
Itu sebabnya, di mata Direktur Masyarakat Peduli Demokrasi & Hukum (MPDH) Provinsi Lampung, Jupri Karim, oknum pengawas yang mendapat upeti dalam menjalankan tugasnya tidak cukup hanya diberi sanksi disiplin.
“Adanya oknum tim pengawas menerima upeti dana BOS ini merupakan persoalan serius. Karena sudah memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Jadi pelakunya tidak cukup hanya disanksi sesuai PP 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,” tegas Jupri Karim, Rabu (23/8/2023).
Seperti diberitakan sebelumnya, dari uji petik terhadap 20 SMA yang mendapat dana BOS pada tahun amggaran 2022, BPK RI Perwakilan Lampung menemukan bukti adanya upeti bagi tim pengawas internal bentukan Pemprov Lampung. Jumlahnya puluhan juta.
Rekomendasi BPK atas kasus penilepan dana BOS tersebut agar ditindaklanjuti oleh Inspektorat Lampung.
Menurut Jupri Karim, suatu perbuatan masuk dalam kategori korupsi sangat jelas tolok ukurnya. Yaitu merugikan keuangan negara atau daerah, memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi.
“Dari 20 sekolah penerima BOS yang diuji petik oleh BPK saja, diketemukan pemberian upeti untuk tim pengawas sebesar Rp 41.656.000. Padahal, jumlah sekolah yang mendapat dana BOS mencapai ratusan. Bisa diduga, praktik memotong dana BOS untuk upeti kepada tim pengawas ini dilakukan secara sistemik dan menyeluruh. Bagi saya, aparatur pemerintah yang melakukan korupsi sama saja dengan maling,” lanjut pengamat dari UIN Radin Inten Lampung ini.
Selain pemberian upeti bagi tim pengawas jelas-jelas terindikasi masuk ranah korupsi, Jupri menambahkan, apa yang dilakukan mereka telah melanggar Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Pada pasal 4 huruf (i) PP nomor 94 tahun 2021 itu dinyatakan, PNS wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi semestinya, dalam kasus ini selain aparat penegak hukum (APH) turun tangan, Inspektorat juga melakukan pemeriksaan dan memberi sanksi kepada semua yang terlibat,” ujarnya, seraya menambahkan, oknum penerima upeti harus dikenakan sanksi hukum, tidak cukup hanya sanksi disiplin.
Dikatakan, dalam hal perbuatan berindikasi korupsi, bukan semata-mata dilihat dari jumlah besar kecilnya temuan BPK. Justru hal tersebut seharusnya menjadi pintu masuk bagi APH untuk menyelidiki lebih mendalam adanya indikasi praktik korupsi terkait dengan dana BOS tahun 2022 ini.
Jupri Karim mengakui, kucuran dana BOS, setiap tahunnya selalu menjadi ajang bancaan bagi para pihak terkait.
Mulai dari pimpinan sekolah, oknum pada dinas terkait, hingga oknum tim pengawasnya.
“Karenanya, pimpinan daerah harus berani menegakkan aturan dengan jelas dan tegas. Dengan demikian akan ada efek jera bagi pelakunya, sehingga ke depan akan terjadi perbaikan dalam tata kelola penggunaan dan pemanfaatan dana BOS,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun anggaran 2022, dana BOS dari APBD Lampung yang dikelola Disdikbud sebesar Rp 310.491.710.000 bagi ratusan SMA dan SMK.
Itu juga masih ditambah anggaran sebanyak Rp 14.826.480.000 sebagai BOSDA, khusus diperuntukkan bagi 344 SMAN dan SMKN yang merupakan UPTD Disdikbud Lampung.
Yang sangat memprihatinkan, dana bantuan operasional sekolah yang totalnya mencapai Rp 325.826.480.000 tersebut sebagiannya dijadikan upeti bagi tim pengawas internal yang diketuai Sekdaprov Lampung, Fahrizal Darminto.
Padahal, maksud Gubernur Arinal Djunaidi membentuk Tim Bos Reguler yang tertuang dalam SK nomor: G/85/V.01/HK/2022 tertanggal 31 Januari 2022 dan menetapkan Sekdaprov Lampung, Fahrizal Darminto, sebagai Ketua Penanggungjawab Tim Bos Reguler Tahun 2022 itu, untuk melakukan pembinaan dan pemantauan program BOS reguler pada SMA, SMK, SDLB, SMPLB, SMALB, dan SLB dalam perencanaan, pengelolaan, dan pelaporan dana BOS reguler.
Dimana, menurut SK Gubernur, tim pengawas internal melakukan pembinaan dalam pengelolaan dana BOS reguler dengan fokus peningkatan kualitas belajar mengajar di sekolah. Selain memiliki tugas memantau pelaporan pertanggungjawaban dan monitoring atas pelaksanaan program BOS.
Namun, fakta di lapangan berbanding terbalik dari maksud dibentuknya tim pengawas internal yang dipimpin Sekdaprov itu. Hanya dari 20 sekolah yang menerima dana BOS di tahun 2022 saja, uji petik yang dilakukan BPK RI Perwakilan Lampung menemukan fakta bila pengawas internal menerima upeti sekitar Rp 41.565.000.
Seperti diberitakan sebelumnya, adanya upeti bagi tim pengawas ini terungkap dalam LHP BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun 2022 yang dirilis 6 Mei silam.
Pada LHP yang ditandatangani Yusnadewi selaku penanggungjawab pemeriksaan itu diuraikan, berdasarkan uji petik pada 20 SMA dan SMK di Lampung, diketahui adanya dana BOS yang digunakan sebagai uang kontribusi.
Ironisnya, Ketua/Bendahara MKKS yang mengkoordinir upeti tersebut. Kemudian diberikan kepada oknum tim pengawas internal dari Pemprov Lampung yang melakukan pemeriksaan dan pemantauan penggunaan dana BOS. Baik berupa uang tunai ataupun cinderamata.
Dari uji petik BPK pada 20 sekolah yang tersebar pada 5 kabupaten di Lampung, praktik kongkalikong ini berlangsung tersistem akibat ikut bermainnya Ketua/Bendahara MKKS menggerogoti dana BOS.
Dari 13 sekolah di Kabupaten Pesisir Barat misalnya, menurut LHP BPK, oknum tim pengawas internal mendapat upeti dari dana BOS sebesar Rp 23.000.000, yang terdiri dari apa yang disebut sebagai dana kontribusi pemeriksaan sebanyak Rp 15.000.000, dan dana kontribusi tindaklanjut sebesar Rp 8.000.000.
Sedangkan dari dua sekolah di Kabupaten Way Kanan, tim pengawas internal Pemprov Lampung mendapat kucuran uang dari dana BOS sebesar Rp 3.585.000. Upeti tersebut dari dana kontribusi pemeriksaan sebanyak Rp 3.085.000, dan Rp 500.000 lainnya sebagai dana kontribusi tindaklanjut.
Praktik turut menikmati dana BOS juga dimainkan pada dua sekolah menengah atas di Kabupaten Pesawaran. Dari upeti yang dikemas dalam kalimat dana kontribusi pemeriksaan, tim pengawas internal mendapat Rp 5.945.000, ditambah Rp 3.414.500 sebagai dana kontribusi tindaklanjut. Sehingga dana BOS yang diterima tim pengawas internal sebesar Rp 9.359.500.
Sementara di Kabupaten Pringsewu dari satu sekolah yang diuji petik oleh BPK, diketahui dana BOS yang diberikan kepada tim pengawas internal sebesar Rp 2.500.000. Dan di Kabupaten Tulangbawang dari dua sekolah, tim mendapat bagian dana BOS Rp 3.211.500.
Dari 20 SMA/SMK yang diuji petik oleh BPK atas laporan pertanggungjawaban dana BOS, diketahui oknum tim pengawas internal telah “memakan” uang bagi kepentingan kemajuan dunia pendidikan itu minimal sebesar Rp 41.656.000, dengan kemasan istilah dana kontribusi pemeriksaan sebanyak Rp 31.804.000 dan dana kontribusi tindaklanjut Rp 12.852.000.
Siapa saja oknum tim pengawas internal yang menerima upeti? Sampai berita ini diturunkan belum diketahui pasti nama dan asal instansinya. Meski bisa dipastikan tim pengawas internal ini banyak melibatkan pejabat di lingkungan Disdikbud Lampung.
Terkait adanya oknum tim pengawas internal yang mendapat upeti dari dana BOS, BPK merekomendasikan kepada Gubernur Arinal agar memerintahkan Inspektur Fredy SM memproses oknum yang telah terindikasi merugikan keuangan daerah sebesar Rp 41.656.000, dengan menyetorkannya kepada kas daerah.
Tidak hanya itu. BPK juga merekomendasikan agar Gubernur melalui Inspektorat Lampung memberikan sanksi sesuai kode etik dan disiplin pegawai terhadap oknum tim pengawas internal yang terkait kasus “makan” dana BOS ini. Sayangnya, menurut sumber di Inspektorat Lampung, sampai Rabu (23/8/2023) siang belum ada pergerakan untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut. (fjr)